Minggu, 14 Juni 2015

POKOK PERMASALAHAN KAJIAN WACANA


1.    Kajian Wacana
Kajian merupakan suatu kajian disiplin ilmu yang mengkaji wacana Dalam kajian wacana terdapat beberapa macam seperti: tindak tutur, Sosiolinguistik interaksional,Kontribusi Antopologi: Gumperz, Kontruksi Sosiolog: Goffman, Sosiolinguistik Interaksional ke dalam Konteks dan Wacana, dan Pragmatik.
2.    Macam-macam Kajian Wacana
a.    Tindak Tutur
Konsep mengenai tindak ujaran (Speech Acts) dikemukakan pertama oleh John L. Austin dengan bukunya How to Do Things with Words (1962). Austin adalah orang pertama yang mengungkapkan gagasan bahwa bahasa dapat digunakan untuk melakukan tindakan melalui pembedaan antara ujaran konstatif dan ujaran performatif. Ujaran konstantif mendeskripsikan atau melaporkan peristiwa atau keadaan dunia. Dengan demikian, ujaran konstantif dapat dikatakan benar atau salah. Sedangkan ujaran performatif, tidak mendeskripsikan benar salah dan pengujaran kalimat merupakan bagian dari tindakan. (Austin, 1962: 5)
Austin membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu:
1)   Lokusi, yaitu semata-mata tindak bicara, tindakan mengucapkan kalimat sesuai dengan makna kata atau makna kalimat. Dalam hal ini kita tidak mempermasalahkan maksud atau tujuan dari ujaran tersebut. Misal ada orang berkata “saya haus” artinya orang tersebut mengatakan dia haus.
2)   Ilokusi, yaitu tindak melakukan sesuatu. Di sini kita berbicara mengenai maksud, fungsi dan daya ujaran yang dimaksud. Jadi ketika ada kalimat ”saya haus” dapat memiliki makna dia haus dan minta minum.
3)   Perlokusi, adalah efek yang dihasilkan ketika penutur mengucapkan sesuatu. Misalnya ada kalimat ”saya haus” maka tindakan yang muncul adalah mitra tutur bangkit dan mengambilkan minum.
J.R. Searle kemudian menerbitkan buku Speech Acts yangmengembangkan hipotesa bahwa setiap tuturan mengandung arti tindakan.Tindakan ilokusioner merupakan bagian sentral dalam kajian tindak tutur. Ada lima jenis ujaran seperti yang diungkapkan oleh Searle (1969) antara lain:
a. Representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya kebenaran atas apa yang dikatakan (misal: menyatakan, melaporkan, mengabarkan, menunjukan, menyebutkan).
b. Direktif, tindak ujaran yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar mitra tutur melakukan apa yang ada dalam ujaran tersebut (misalnya: menyuruh, memohon, meminta, menuntut, memohon).
c. Ekspresif, tindak ujaran yang dilakukanss dengan maksud ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan pada ujaran tersebut (misalnya: memuji, mengkritik, berterima kasih).
d. Komisif, tindak ujaran yang mengikat penutur untuk melakukan seperyi apa yang diujarkan (misalnya bersumpah, mengancam, berjanji).
e. Deklarasi, tindak ujaran yang dilakukan penutur dengan maksud untuk menciptakan hal yang baru (misalnya memutuskan, melarang, membatalkan).
Ada kalanya tempat, waktu, suasana, peristiwa, dan keberadaan orang tertentu dimanfaatkan oleh seseorang untuk mendukung dan menunjang keberhasilan tuturan yang dilakukannya kepada mitra tuturnya. Pemanfaatan konteks untuk mendukung keberhasilan tujuan tuturan inilah yang dimaksudkan dengan pendayagunaan konteks yaitu sebagai berikut:
3.    Sosiolinguistik interaksional
Sosiolinguistik interaksional adalah pandangan atau lebih tepatnya sebuah kontribusi dari dua tokoh yang akhirnya bisa mengembangkan masalah sosiolinguistik interaksional. Dalam bagian ini, Deborah mendeskripsikan gagasan dasar sosiolingustik interaksional. Deborah mengawali dengan kerja Gumperz dan kemudian beralih ke kerja Goffman.
Kontribusi Antopologi: Gumperz
Dalam sebagian besar pendahuluan koleksi essai akhirnya (Discourse Strategies), Gumperz menyatakan bahwa dia “mencari pengembangan tafsir ancangan sosiolinguistik ke arah analisis prosese waktu nyata dalam pertemuan semuka”.
Teori komunikasi verbal yang diajukan oleh Gumperz memerlukan penambahan konsep dan prosedur analitis yang terbangun dari agasan awalnya tentang kultur, sosial, bahasa, dan penutur. Satu konstruk baru adalah isyarat kontekstualisasi. Isyarat kontekstualisasi dikaitkan pada dua konsep lain: prasangka kontekstual dan tempat inferensi.
Kunci dari sosiolinguistik komunikasi interpesonal Gumperz adalah pandangan bahasa yang secara sosial dan kultural dikonstruk sistem simbol yang digunakan sebagai cara yang merefleksikan makna sosial level-mikro (misal; identitas kelompok, perbedaan status) dan menciptakan makna sosial level-makro (apakah seseorang menuturkan da melakukan pada waktu yang tepat). Penutur adalah anggota kelompok sosial dan kultural: cara kita menggunakan bahasa bukan hanya merefleksikan identitas, dasar kelompok kita tetapi juga memberikan indikasi kontinu semacam siapa kita, kita ingin berkomunikasi apa, dan bagaimana kita tahu bagaimana melakukan. Kecakapan memproduk dan memahami prosesindeksikal itu menjadikan mereka tampak, dan dipengaruhi oleh, konteks lokal merupak bagian kompetensi komunikatif kita. Sebagaimana kita lihat pada bagian berikut ini, kerja Erving Goffman juga berfokus pada pengetahuan ditempatkan, penutur, dan konteks sosial, tetapi berbeda cara dan berbeda penekanan.      
Kontruksi Sosiolog: Goffman
Adalah seorang tokoh yang  juga memberi kontribusi ke arah pengembangan sosiolinguistik interaksional adalah kerja Erving Goffman.Walaupun Goffman tidak menganalisis bahasa saja, fokus pada intraksi sosialnyamelengkapi fokus Gumperzpada situasi penarikan simpulan. Goffman meletakan bahasa (dan sistem tanda lain) dalam konteks sosial dan interpersonal yang sama seperti penetapan presaposisi temuan Gumperz merupakan latar belakang yang penting untuk memahami makna. Ada tambahan dari Goffman, yaitu satu pemahaman bentuk dan makna konteks yang membiarkan kita agar lebih penuh mencirikan dan menghargai dugaan kontekstual yang tergambar dalam dugaan mitra tutur terhadap makna penutur. Sosiologi Goffman mengembangkan gagasan beberapa ahli teori sosiologi klasik dan mengaplikasikannya  untuk ranah kehidupan sosial yang kompleksitas strukturalnya (sebelum kerja Goffman) secara luas berlangsung tanpa terperhatikan: interaksi sosial bersemuka.
Kerja Goffman sebagaimana memberikan elaborasi praduga kontekstual bahwa orang menggunakan dan mengonstruk selama proses menduga, dan sebagai tawaran pandangan makna dengan cara praduga tersebut secara eksternal dionstruk dan menentukan keterikatan-keterikatan eksternal pada cara-cara kita memahami pesan. Sebagian besar kerja Goffman yang terakhir pada penutur (1974; 1979) terbagun atasa pembagian awalnya melokasikan penutur di dalam kerangka kerja partisipan seperangkat posisi yang individu di dalam batas perseptual tuturan berada dalam hubungan ke arah tuturan tersebut. Goffman membedakan empat posisi atau status partisipan: Animator, Author, Figure, dan Prinsipal. Animator memproduk tuturan, Author menciptakan tuturan, Figure dipotret lewat tuturan, dan Prinsipal merespon tuturan.
4.    Etnografi komunikasi
Kajian sosiolinguistik yang tergolong mendapat perhatian cukup besar adalah kajian tentang etnografi komunikasi.Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa. Bidang kajian vang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok (Richards dkk.,1985).
Semula etnografi komunikasi (etnography of communication) disebut etnografi wicara atau etnografi pertuturan (ethnograpliy of speaking).Kalau etnografi itu dipandang sebagai kajian yang memerikan suatu masyarakat atau etnik, model pemerian etnografi itu bisa diterapkan dan difokuskan kepada bahasa masyarakat atau kelompokmasyarakat tertentu.Karena sosiolinguistik itu lebih banyak mengungkapkan pemakaian bahasa, dan bukan ihwal struktur bahasa, maka etnografi tentang bahasa difokuskan kepada pemakaian bahasa dalam pertuturan atau lebih luas lagi komunikasi yang menggunakan bahasa.
5.    Pragmatik
Pragmatik adalah sebuah ancangan yang menguraikan tiga konsep (makna, konteks, komunikasi) yang sangat luas dan rumit (Debora, 2007: 268). Tidak mengherankan bahwa lingkup pragmatik yang begitu luas, sehingga bidang kajian ini mengalami banyak dilema yang serupa dengan yang dihadapi analisis wacana. Salah satu tipe khusus pragmatik adalah model Grice yang beberapa definisinya mencakup banyak bidang yang sama dengan analisis wacana. Teori ini juga menjadi “pusat penelitian pragmatik” (Fasold, 1990: 128).
6.    Anlisis Percakapan
Pada dasarnya percakapan adalah manifestasi penggunaan bahasa untuk berinteraksi. Mey (2001: 137) berpendapat bahwa wujud penggunaan bahasa tersebut dapat dilihat dari dua aspek. Aspek pertama adalah isi, yaitu aspek yang memperhatikan hal-hal seperti topik apa yang didiskusikan dalam percakapan; bagaimana topik disampaikan dalam percakapan: apakah secara eksplisit, melalui presuposisi, atau diimplisitkan dengan berbagai macam cara; jenis topik apa yang mengarah pada topik lain dan apa alasan yang melatarbelakangi hal semacam ini terjadi, dsb. Selain itu, fokus lain dari aspek ini adalah organisasi topik dalam percakapan dan bagaimana topik dikelola, baik disampaikan dengan cara terbuka maupun dengan manipulasi secara tertutup: biasanya dalam bentuk tindak ujar taklangsung. Kedua adalah aspek formal percakapan. Fokus utama dalam aspek ini adalah hal-hal seperti bagaimana percakapan bekerja; aturan-aturan apa yang dipatuhi; dan bagaimana sequencing ‘keberurutan’ dapat dicapai (memberikandan memperoleh giliran atau mekanisme turn-taking, jeda, interupsi, overlap, dll.).
Bila dilihat dari sudut pandang historis, analisis percakapan muncul ditengah-tengah kebingungan teoretis setelah munculnya revolusi linguistik yang digagas oleh Chomsky di akhir tahun 50an dan di awal tahun 60an. Analisis percakapan ini diprakarsai oleh sekelompok orang pemerhati bahasa nonprofesional (para sosiolog seperti Sacks, Schegloff, dan Jefferson). Mereka melihat bahwa contoh-contoh bahasa yang diberikan oleh para linguis profesional seringkali tidak alami, bahkan sebagian dari contoh-contoh ujaran tersebut tidak muncul dalam percakapan yang alamiah. Kemudian, mereka pun menemukan bahwa aturan-aturan yang dipatuhi dalam percakapan lebih mirip dengan aturan-aturan yang dipakai masyarakat dalam aktivitas sosial daripada dengan aturan-aturan yang terdapat dalam linguistik.
7.    Kajian Analisis Variasi
Ancangan wacana variosionis berasal dari studi kuantitatif perubahan dan variasi linguistic. Walaupun analisis tersebut secara tipical berfokus pada pembatasan-pembatasan social dan linguistic pada varian equivalen secara semantic, ancangan tersebut juga diperluas ke arah teks. Kami melihat bahwa unit dasar narasi adalah peristiwa, unit dasar daftar adalah kesatuan. Informasi utama daftar adalah deskriftif. Pembandingan tersebut merefleksikan tendensi variasiois terhadap tuturan wacana dalam istilah yang sama yang digunakan dengan orientasi linguistic secara structural: “unit-unit” beranak-pihak ke arah konstituen: “informasi” dalam pengertian proposional (meskipun fakta bahwa proposisi sendiri memilki interpretasievaluative);”struktur” adalah aturan sintagmatis dan paradigmatis dari unit-unit dalam pola-pola berula.

Sabtu, 13 Juni 2015

Analisis Wacana Menurut Van Djik

  DEFINISI WACANA DAN ANALISIS WACANA
Wacana merupakan satuan bahasa berdasarkan kata yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu merupakan deretan kata atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antara penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana dapat dlihat sebagai hasil dari pengungkapan idea/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Bagaimana Terbentuknya Wacana. Penggunaan bahasa berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kata atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kata atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent). Wacana dikatakan utuh apabila kata-kata dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kata-katanya disusun secara teratur dan sistematik sehingga menunjukkan kebenaran ide yang diungkapkan. Analisis wacana di dalam ilmu komunikasi bersumber dari pemikiran Marxis Kritis. (Stephen W. Littlejohn, 2002; Stanley J. Baran and Denis K. Davis, 2000). Ada tiga aliran pemikiran yang termasuk ke dalam kategori ini, iaitu: (1). Aliran Frankfurt (Frankfurt School); (2). Pengajian Budaya (Cultural Studies); (3). Pengajian Wanita (Feminist Study). (Stephen W. Littlejohn, 2002).
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besardari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacanaa berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana? Disini ada beberapa perbedaan pandangan. Mohammad A. S. Hikam dalam suatu tulisannya telah membahas dengan baik perbedaan paradigma analisis wacanaa dalam melihat bahasa ini yang akan diringkas sebagai berikut. Paling tidak ada tiga pandangan mengeneai bahasa dalam analisis wacanaa. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivme-empiris. Oleh kaum ini , bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakaipenyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris.
Salah satu cirri daripemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacanaa, konsekuensi logis dari pemahaman ini orangtidak perlu mengetahui makna-makna subjektif ataunilaiyangmendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran positivme-empiris tentang wacanaa. Analisis wacanaa dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacanaa lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik). Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme.
Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacanaa serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S. Hikam, subjek memiliki kemampuan-kemampuan melakukan control terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacanaa. Bahasa dipahami dalam paradigm ini diatur dan dihidupkan oleh pernyatan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacanaa dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membonhgkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacanaa adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan memnempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitive pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belummenganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacanaa, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigm kritis. Analisis wacanaa tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacanaa dalam paradigm ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. bahasa disini tidak difahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara.
Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi didalamnya. Oleh karena itu, analisis wacanaa dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacanaa, perspektif yang merti dipakai, topic apa yang dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacanaa melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. karena memakai perpektif kritis, analisis wacanaa kategori ketiga itu juga disebut sebagai analisis wacanaa kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). Ini untuk membedakan dengan analisis wacanaa dalam kategori yang pertama atau kedua (Discourse Analysis). Analisis wacana muncul sebagai suatu reaksi terhadap linguistik murni yang tidak bisa mengungkap hakikat bahasa secara sempurna. Dalam hal ini para pakar analisis wacana mencoba untuk memberikan alternative dalam memahami hakikat bahasa tersebut. Analisis wacana mengkaji bahasa secara terpadu, dalam arti tidak terpisah-pisah seperti dalam linguistik, semua unsure bahasa terikat pada konteks pemakaian. Oleh karena itu, analisis wacana sangat penting untuk memahamihakikat bahsa dan perilaku berbahasa termasuk belajar bahasa.
Analisis wacana adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi. Stubbs (1983:1) mengatakan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan maupun tulis, misalnya pemakaian bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Selanjutnya stubbs menjelaskan bahwa analisis wacana menekankankajiannya pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam penggunaan bahasa antar penutur. Jadi jelasnya analisis wacan bertujuan untuk mencari keteraturan bukan kaidah. Yang dimaksud dengan keteraturan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan keberterimaan penggunaan bahasa di masyarakatsecara realita dan cenderung tidak merumuskan kaidah bahasa seperti dalam tata bahasa. Kartomiharjo (1999:21) mengungkap bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Analisis wacana lazim digunakan untuk menemukan makna wacana yang persis sama atau paling tidak sangat ketat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau oleh penulis dalam wacana tulis.

Berdasarkan analisisnya, cirri dan sifat wacana menurut syamsuddin (1992:6) analisis wacanadapat dikemukakan sebagai berikut:
  1. Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa didalam masyarakat (rule of use-menurut woddowson, 1978).
  2. Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Firth, 1957).
  3. Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantic (Beller).
  4. Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa (what is said from what is done menurut Labov, 1970).
  5. Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional (functional use of language- menurut Coulthard, 1977).
Ciri-ciri dasar lain dapat diramu dari pendapat beberapa ahli, seperti merit, Sclegloff dan Sacls, Fraser, Searle, Richard, Halliday, Hasan, dan Horn, antara lain sebagai berikut. (Syamsuddin, 1992:6).
  1. Analisis wacana bersifat interpretative pragmatis, baik bentuk bahasanya maupun maksudnya (form and notion).
  2. Analisis wacana banyak bergantung pada interpretasi terhadap konteks dan pengetahuan yang luas (interpretation of world).
  3. Semua unsur yang terkandung di dalam wacana dianalisis sebagai suatu rangkaian.
  4. Wujud bahasa dalam wacana itu lebih jelas karena didukung oleh situasi yang tepat (All material used in real that is actually having occurred in appropriate situational).
  5. Khusus untuk wacana dialog, kegiatan analisis terutama berkaitan dengan pertanyaan, jawaban, kesempatan berbicara, penggalan percakapan, dan lain-lain.
Tokoh analisis wacana adalah Sinclair dan Coulthard (1979). Mereka meneliti wacana yang dibentuk dalam interaksi guru dan murid di kelas. Mereka merekam sejumlah peristiwa belajar-mengajar di sekolah dasar di Inggris. Menurut Coulthard (1997) analisis wacana dimulai oleh ide Firth yang mengungkap tentang linguistik kontekstual bahwa bahasa baru bermakna apabila berada dalam suatu konteks. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Brown dan Yule (1983:27-67) yang menyatakan bahwa dalam menginterpretasi makna sebuah ujaran perlu memperhatikan konteks, karena kontekslah yang akan memaknai ujaran.
2.2 TEORI KOGNISI SOSIAL TEUN A. VAN DIJK
Dari begitu banyak model analisis wacana yang diintoduksikan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini mungkin disebabkan karena van Dijk menformulasikan elemen-elemen wacana, sehingga bisa dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial” (Eriyanto 2001:221). Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana. Di sini ada dua bagian, yaitu teks yang mikro yang merepresentasikan suatu topik permasalahan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur sosial. van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial. Kognisi sosial tersebut mempunyai dua arti. Di satu sisi ia menunjukkan bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan/ media, di sisi lain ia menggambarkan nilai-nilai masyarakat itu menyebar dan diserap oleh kognisi wartawan dan akhirnya digunakan untuk membuat teks berita (Eriyanto 2001:222).
Dalam buku Eriyanto, Van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/ pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/ bangunan : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks yang pertama, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis Van Dijk (Eriyanto 2001:225).

1.Teks
Van Dijk membagi struktur teks ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna global/ umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka atau skema suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, parafrase dan lain-lain.
Meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan baru kemudian pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Kita bisa membuat pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa terhadap isu kenaikan BBM. Misalnya, Koran A mengatakan bahwa aksi ini terjadi karena kekecewaan mahasiswa dan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM semata tanpa ada motif atau tuntutan yang lain.
 Tema ini akan didukung dengan skematik tertentu. Misalnya dengan menyusun cerita yang mendukung gagasan tersebut. Media tersebut juga akan menutupi fakta tertentu dan hanya akan menjelaskan peristiwa itu semata pada masalah BBM. Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai pemakaian kata-kata yang menunjuk dan memperkuat pesan bahwa demonstrasi tersebut semata kasus kenaikan harga. Semua teks dipandang van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai sebuah piramida. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan atau tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Pemakaian kata, kalimat, proposisi, retorika tertentu oleh media dipahami van Dijk sebagai bagian dari strategi wartawan. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata dipandang sebagai cara berkomunikasi melainkan sebagai politik berkomunikasi, suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang. Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu elemen dalam teks.
a). Tematik
Elemen tematik mempostulatkan pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Topik menggambarkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik menggambarkan tema umum dari suatu teks berita, topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik yang lain yang saling mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik, sehingga saling mendukung antara satu bagian dengan bagian yang lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh. Misalnya suatu teks berita mengenai Soeharto. Tema umum dari berita tersebut adalah hal-hal positif yang dimiliki oleh Soeharto dan hal-hal positif yang didapat oleh masyarakat Indonesia pada masa pemerintahannya. Kalau kita menggunakan kerangka van Dijk, dalam teks akan didukung oleh beberapa subtopik, misalnya : harga barang-barang atau sembako yang murah, pembangunan dimana-mana, perekonomian maju. Masing-masing subtopik ini kalau diperhatikan mendukung, memperkuat bahkan membentuk topik utama berupa kemajuan pemerintahan Soeharto. Masing-masing subtema ini juga akan didukung oleh bagian yang lebih kecil. Misalnya dalam subtema akan diuraikan bahwa keluarga Cendana juga mendirikan yayasan amal. Dengan kata lain, semua fakta saling dukung membentuk satu pengertian umum yang koheren. Namun, peristiwa yang sama bisa jadi dipahami secara berbeda oleh wartawan yang berbeda, dan ini dapat diamati dari topik suatu pemberitaan.

b). Skematik
Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Meskipun mempunyai bentuk dan skema yang beragam, berita umumnya mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary yang biasanya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Elemen skema ini merupakan elemen yang dipandang paling penting. Judul umumnya menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Lead umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara lengkap. Kedua, story yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita ini juga mempunyai dua subkategori. Yang pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya peristiwa, sedang yang kedua komentar yang ditampilkan dalam teks.
Subkategori situasi yang menggambarkan kisah suatu peristiwa umumnya terdiri atas dua bagian. Yang pertama mengenai episode atau kisah utama dari peristiwa tersebut, dan yang kedua latar untuk mendukung episode yang disajikan kepada khalayak. Misalnya berita tentang konser Dewi Persik yang batal diselenggarakan karena mendapat protes dan kecaman keras dari masyarakat. Episode ini umumnya juga akan didukung oleh latar, misalnya, dengan mengatakan ini pembatalan konser Dewi Persik yang kesekian kali. Dengan demikian, latar umumnya dipakai untuk memberi konteks agar suatu peristiwa lebih jelas ketika disampaikan kepada khalayak.
Sedangkan subkategori komentar yang menggambarkan bagaimana pihak-pihak yang terlibat memberikan komentar atas suatu peristiwa terdiri atas dua bagian. Pertama, reaksi atau komentar verbal dari tokoh yang dikutip wartawan. Kedua, kesimpulan yang diambil oleh wartawan dari komentar beberapa tokoh. Menurut van Dijk, arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang disembunyikan. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol.

c). Latar
Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi arti yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan masyarakat hendak dibawa. Misalnya ada berita mengenai Bibit Waluyo, seorang kandidat atau calon Gubernur untuk propinsi Jawa Tengah. Bagi yang pro atau mendukung Bibit Waluyo, latar yang dipakai adalah prestasi-prestasi dan keberhasilan Bibit Waluyo. Sedangkan yang kontra atau tidak mendukung tentu akan sebaliknya. Latar dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana teks itu dibawa.

d). Detil
Elemen Detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit, selain itu elemen wacana detil berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang (Eriyanto, 2006: 238). Detil yang lengkap dan panjang merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakn citra tertentu kepada khalayak. Detil yang lengkap ini akan dihilangkan kalau berhubungan dengan sesuatu yang menyangkut kelemahan atau kegagalan komunikator. Hal yang menguntungkan komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara detil, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan, detil informasi akan dikurangi. Dalam mempelajari detil, yang harus dipelajari atau diteliti adalah keseluruhan dimensi peristiwa, bagaian mana yang diuraikan secara panjang lebar oleh wartawan.  Misalnya kekalahan tim Thomas Indonesia yang diekspos terlalu berlebihan tetapi dengan cara menyajikan berbagai informasi yang tidak perlu.


e). Maksud
Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detil, hanya saja elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implicit, dan tersembunyi. Misalnya pendeskripsian secara jelas dan gamblang cara-cara kekerasan dan koersif yang dilakukan oleh polisi dalam upaya menertibkan pedagang kaki lima.


f). Koherensi
Koherensi adalah pertautan atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh wartawan. Misalnya proposisi “demonsterasi mahasiswa” dan “nilai tukar rupiah melemah” adalah dua buah fakta yang berlainan. Dua buah proposisi itu menjadi berhubungan sebab-akibat ketika ia dihubungkan dengan kata hubung “mengakibatkan” sehingga kalimatnya menjadi “Demonsterasi mahasiswa mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah” dua buah kalimat itu menjadi tidak berhubungan ketika dipakai kata hubung “dan”. Kalimatnya kemudian menjadi “ Demonsterasi mahasiswa dan nilai tukar rupiah melemah”. Dalam kalimat ini, antara fakta banyaknya demonsterasi dan nilai tukar rupiah dipandang tidak saling berhubungan, kalimat satu tidak menjelaskan kalimat lain. Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandaang terpisah, berhubungan, atau merupakan hubunagn sebab-akibat. Pilihan yang diambil ditentukan oleh sejauh mana kepentingan komunikator terhadap peristiwa tersebut.

g) Koherensi Kondisional
            Koherensi kondisional diantaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas yang dihubungkan dengan konjungsi. Disini ada dua kalimat, dimana kalimat kedua adalah penjelas atau keterangan dari proposisi pertama, yang dihubungkan dengan kata hubung, seperti “yang” atau “di mana”. Kalimat kedua hanya berfungsi sebagai penjelas (anak kalimat), sehingga ada atau tidak anak kalimat itu, tidak akan mengurangi arti kalimat. Anak kalimat itu menjadi cermin kepentingan komunikator karena ia dapat memberikan keterangan yang baik/buruk terhadap suatu pernyataan. Seperti dalam sebuah kalimat “PSSI, yang selalu kalah dalam pertandingan internasional, tidak jadi dikirim ke Asian Games”. Arti kalimat tersebut tidak akan berubah jika seandainya diubah menjadi “PSSI tidak jadi dikirim ke Asian Games “, Anak kalimat “yang selalu kalah dalam pertandingan” selain menjadi penjelas juga juga bermakna ejekan terhadap PSSI. Selain itu juga member informasi kepada public bahwa PSSI tidak dikirim karena prestasinya selama ini buruk.




h) Koherensi Pembeda
Koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Seperti mengenai kebebasan pers di era Gus Dur. Pada era Gus Dur kebebasa pers dijamin, namun terjadi peristiwa pendudukan Banser terhadap harian Jawa Post hingga menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit. Ini satu peristiwa atau fakta. Ada fakta lain, pada era Hambibie, kebebasan pers juga dijamin, dan pada masa ini tidak ada pendudukan sekelompokorang terhadap media massa tertentu. Dua buah peristiwa itu terpisah, tidak berhubungan juga tidak menyulut peristiwa lain. Akan tetapi kedua masalah tersebut bisa dibuat berhubungan dengan cara membuat satu pristiwa sebagai kebalikan/kontras dari pristiwa lain. Dalam contoh kasus tersebut, bisa saja dikatakan alangkah berbedanya masa pemerintahan Hambibie dan Gus Dur, atau pemerintahan Hambibie lebih baik daripada pemerintahan Gus Dur. Kata sambung yang sering dipakai untuk membedakan dua kalimat ini adalah “dibandingkan”, sehingga kalimatnya bisa saja menjadi “ Dibandingkan pemerintahan hambibie, kebebasan pers pada era Gus Dur mengalami kemundurun. Pada masa Gus Dur terjadi peristiwa pendudukan Baser atas Jawa Post yang menyebabkan Koran tersebut tidak bisaterbit”.

i). Pengingkaran
Elemen wacana pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Pengingkaran menunjukkan seolah wartawan menyetujui sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuannya tersebut. Misalnya pernyataan (saya memang orang Jogja tulen, tetapi uang Sultan dari perkawinan Putrinya itu memang perlu diselidiki KPK….)

j). Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir yang logis, yaitu prinsip kausalitas. Di mana ia menanyakan apakah A yang menjekaskan B, atau B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini jika diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan objek (diterangkan) dan predikat (menerangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Kasus pemukulan mahasiswa oleh polisi dapat disusun ke dalam bentuk kalimat aktif, dapat juga pasif. Kalimat “Polisi memukul Mahasiswa” menempatkan polisi sebagai subjek dan memberi glorifikasi kepada kesalahan polisi. Sebaliknya, “kalimat“Mahasiswa dipukul Polisi”, polisi ditempatkan secara tersembunyi. Pada umumnya, pokok yang dipandang penting selalu ditempatkan di awal kalimat. Bentuk lain adalah dengan pemakaian urutan kata-kata yang mempunyai dua fungsi skaligus. Pertama, menekankan atau menghilangkan dengan penempatan dan pemakaian kata atau frase yang mencolok dengan menggunakan permainan semantik. Yang juga penting dalam sintaksis selain bentuk kalimat adalah posisi proposisi dalam kalimat. Bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Proposisi mana yang ditempatkan di awal kalimat dan mana yang di tempat diakhir kalimat. Penempatan ini memengaruhi makna yang timbul karena menunjukkan bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang disembunyikan.

k). Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa denga menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Akan tetapi, ketika memakai kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan. Pemakaian kata ganti yang jamak seperti “kita” atau “kami” mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi serta mengurangi kritik dan oposisi.

l). Leksikon
Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata/ diksi atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “ditangkap”, misalnya mempunyai kata lain : diamankan, disekap, ditahan dan lain-lain. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih pilihan yang tersedia. Secara ideologis, pilihan kata yang dipakai menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.

m). Praanggapan
Elemen wacana praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpecaya sehingga tidak perlu dipertanyakan.  Misalnya dalam suatu aksi pengrusakan sebuah diskotik oleh FPI. Seseorang yang setuju dengan hal itu akan memakai pranggapan berupa pernyataan “Perjuangan FPI ini membela Islam”.

n) Metafora
Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita . akan tetapi penggunaan metafora tertentu bisa jadi dipakai oleh wartawan secara sterategi sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat tertentu kepada publik. Penggunaan ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, leluhur, kata-kata kuno, bahkan ungkapan ayat suci dipakai untuk memperkuat pesan utama. 

o) Grafis
Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolakan (yang berat dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam berita elemen grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisanyang dibuat berbeda dibandingkan dengan tulisan lain, seperti pemakain huruf tebal, huruf miring, garis bawah, huruf dengan ukurun lebih besar, termasuk pemakaian caption, raster,grafik, gambar, foto dan atau table untuk mendukung pesan. Elemen grafis member efek kognitif, dalam arti, ia mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukka apakah suatu informasi itu dianggap penting sehingga harus difokuskan. Pemakaian jumlah, ukuran statistik menurut van Dijk bukan semata bagian dari standar jurnalistik, melainkan juga menyugestikan presisi dari apa yang hendak dikatakan dalam teks. Pencantuman jumlah mahasiswa dalam bentrokan misalnya, selain sebagai standar jurnalistik, juga upaya dan strategi wartawan untuk meyakinkan publik, hal itu dikarenakan angka masih dianggap paling benar.

Hakikat Wacana

A. Hakikat Wacana
Kata wacana adalah salah satu kata yang banyak disebut seperti halnya demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup. Seperti halnya banyak kata yang digunakan, kadang-kadang pemakai bahasa tidak mengetahui secara jelas apa pengertian dari kata yang digunakan tersebut. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan. Kata wacana juga banyak dipakai oleh banyak kalangan mulai dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan sebagainya.
1.      Pengertian Wacana
Istilah wacana berasal dari kata sansekerta yang bermakna ucapan atau tuturan. Menurut Alwi, dkk (2003:42), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga membentuk makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Menurut Tarigan (dalam Djajasudarma, 1994:5), wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat  atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata. Lebih lanjut, Syamsuddin (1992:5) menjelaskan pengertian wacana sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk dari unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.
Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap yang disajikan secara teratur dan membentuk suatu makna.
2.      Wacana dan Fungsi Bahasa dalam Komunikasi
Wacana dengan unit konversasi memerlukan unsur komunikasi yang berupa sumber (pembicara san penulis) dan penerima (pendengar dan pembaca). Semua unsur komunikasi berhubungan dengan fungsi bahasa (Djajasudarma, 1994:15). Fungsi bahasa meliputi (1) fungsi ekspresif yang menghasilkan jenis wacana berdasarkan pemaparan secara ekspositoris, (2) fungsi fatik (pembuka konversasi) yang menghasilkan dialog pembuka, (3) fungsi estetik, yang menyangkut unsur pesan sebagai unsur komunikasi, dan (4) fungsi direktif yang berhubungan dengan pembaca atau pendengar sebagai penerima isi wacana secara langsung dari sumber.
3.      Wacana dan Kajian Bidang Ilmu Lainnya.
Kajian tentang wacana tidak bisa dipisahkan dengan kajian bahasa lainnya, baik pragmatik maupun keterampilan berbahasa.
a.       Wacana dan Pragmatik
Pragmatik berhubungan dengan wacana melalui bahasa dan konteks. Dalam hal ini dapat dibedakan tiga hal yang selalu berhubungan yaitu sintaksis, semantik dan pragmatik. Sintaksis merupakan hubungan antar unsur, semantik adalah makna, baik dari setiap unsur maupun makna antar hubungan (pertimbangan makan leksikal dan gramatikal), dan pragmatik berhubungan dengan hasil ujaran (pembicara dan pendengar atau penulis dan pembaca)
b.      Hubungan Gramatikal dan Semantik dalam Wacana
Hubungan antarproposisi yang terdapat pada wacana (kalimat) dapat dipertimbangkan dari segi gramatika (memiliki hubungan gramatikal) dan dari segi semantik (hubungan makna dalam setiap proposisi)
1)         Hubungan Gramatikal
Unsur-unsur gramatikal yang mendukung wacana dapat berupa.
a)            Unsur yang berfungsi sebagai konjungsi (penghubung) kalimat atau satuan yang lebih besar, seperti dengan demikian, maka itu, sebabnya, dan misalnya.
b)            Unsur kosong yang dilesapkan mengulangi apa yang telah diungkapkan pada bagian terdahulu (yang lain) misalnya: Pekerjaanku salah melulu, yang benar rupanya yang terbawa arus.
c)            Kesejajaran antarbagian, misalnya: Orang mujur belum tentu jujur. Orang jujur belum tentu mujur.
d)            Referensi, baik endofora (anafora dan katafora) maupun eksofora. Referensi (acuan) meliputi persona, demonstratif, dan komparatif.
e)            Kohesi leksikal
Kohesi leksikal dapat terjadi melalui diksi (pilihan kata) yang memiliki hubungan tertentu dengan kata yang digunakan terdahulu. Kohesi leksikal dapat berupa pengulangan, sinonimi dan hiponimi, serta kolokasi.
f)              Konjungsi
Konjungsi merupakan unsur yang menghubungkan konjoin (klausa/kalimat) di dalam wacana.
2)      Hubungan semantik
Hubungan semantik merupakan hubungan antarproposisi dari bagian-bagian wacana. Hubungan antarproposisi dapat berupa hubungan antar klausa yang dapat ditinjau dari segi jenis kebergantungan dan dari hubungan logika semantik. Hubungan logika semantik dapat dikaitkan dengan fungsi semantik konjungsi yang berupa (1) ekspansi (perluasan), yang meliputi elaborasi, penjelasan/penambahan, dan (2) proyeksi, berupa ujaran dan gagasan
c.       Wacana dan Keterampilan Berbahasa
Pembahasan wacana berkaitan erat dengan pembahasan keterampilan berbahasa terutama keterampilan berbahasa yang bersifat produktif , yaitu berbicara dan menulis. Baik wacana maupun keterampilan berbahasa, sama-sama menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
B. Karakteristik Wacana
Wacana merupakan medium komunikasi verbal yang bisa diasumsikan dengan adanya penyapa (pembicara dan penulis) dan pesapa (penyimak dan pembaca).
1.      Ciri-ciri Wacana
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diperoleh ciri atau karakterisitik sebuah wacana. Ciri-ciri wacana adalah sebagai berikut.
  1. Satuan gramatikal
  2. Satuan terbesar, tertinggi, atau terlengkap
  3. Untaian kalimat-kalimat
  4. Memiliki hubungan proposisi
  5. Memiliki hubungan kontinuitas, berkesinambungan
  6. Memiliki hubungan koherensi
  7. Memiliki hubungan kohesi
  8. Rekaman kebahasaan utuh dari peristiwa komunikasi
  9. Bisa transaksional juga interaksional
  10. Medium bisa lisan maupun tulis
  11. Sesuai dengan konteks
Syamsuddin (1992:5) menjelaskan ciri dan sifat sebuah wacana sebagai berikut.
  1. Wacana dapat berupa rangkaian kalimat ujar secara lisan dan tulis atau rangkaian tindak tutur
  2. Wacana mengungkap suatu hal (subjek)
  3. Penyajian teratur, sistematis, koheren, lengkap dengan semua situasi pendukungnya
  4. Memiliki satu kesatuan misi dalam rangkaian itu
  5. Dibentuk oleh unsur segmental dan nonsegmental
2.      Unsur Pembentuk Wacana
Wacana berkaitan dengan unsur intralinguistik (internal bahasa) dan unsur ekstralinguistik yang berkaitan dengan proses komunikasi seperti interaksi sosial (konversasi dan pertukaran) dan pengembangan tema (monolog dan paragraf).
3.      Konteks dan Ko-teks
Wacana merupakan bangunan semantis yang terbentuk dari hubungan semantis antarsatuan bahasa secara padu dan terikat pada konteks. Ada bermacam-macam konteks dalam wacana. Wacana lisan merupakan kesatuan bahasa yang terikat dengan konteks situasi penuturnya. Konteks bagi bahasa (kalimat) dalam wacana tulis adalah kalimat lain yang sebelum dan sesudahnya, yang sering disebut ko-teks.
4.      Teks
Fairdough (dalam Eriyanto, 2008:289) melihat teks dalam berbagai tingkatan. Sebuah teks bukan hanya menampilkan bagaimana suatu objek digambarkan tetapi juga bagaimana hubungan antarobjek didefinisikan. Setiap teks pada dasarnya, menurut Firdough dapat diuraikan dan dianalisis dari ketiga unsur tersebut.
Unsur Yang ingin dilihat
Representasi Bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, keadaan, atau apapun ditampilkan dan digambarkan dalam teks.
Relasi Bagaimana hubungan antara wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.
Identitas Bagaimana identitas wartawan, khalayak, dan partisipan berita ditampilkan dan digambarkan dalam teks.
C. Jenis Wacana
Merujuk pendapat Leech (1974, dalam Kushartanti dan Lauder, 2008:91) tentang fungsi bahasa, wacana dapat diklasifikasi sebagai berikut.
1.      Wacana ekspresif, apabila wacana itu bersumber pada gagasan penutur atau penulis sebagai sarana ekspresif, seperti wacana pidato.
2.      Wacana fatis, apabila wacana itu bersumber pada saluran untuk memperlancar komunikasi, seperti wacana perkenalan dalam pesta.
3.      Wacana informasional, apabila wacana itu bersumber pada pesan atau informasi, seperti wacana berita dalam media massa.
4.      Wacana estetik, apabila wacana itu bersumber pada pesan dengan tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu.
5.      Wacana direktif, apabila wacana itu diarahkan pada tindakan atau reaksi dari mitra tutur atau pembaca, seperti wacana khotbah.
Menurut Djajasudarma (1994:6), jenis wacana dapat dikaji dari segi eksistensinya (realitasnya), media komunikasi, cara pemaparan, dan jenis pemakaian.
a.       Realitas Wacana
Realitas wacana dalam hal ini adalah eksistensi wacana yang berupa verbal dan nonverbal. Rangkaian kebahasaan verbal atau language exist (kehadiran kebahasaan) dengan kelengkapan struktur bahasa, mengacu pada struktur apa adanya; nonverbal atau language likes mengacu pada wacana sebagai rangkaian nonbahasa (rangkaian isyarat atau tanda-tanda yang bermakna)
b.      Media Komunikasi Wacana
Wujud wacana sebagai media komunikasi berupa rangkaian ujaran lisan dan tulis. Sebagai media komunikasi wacana lisan, wujudnya dapat berupa sebuah percakapan atau dialog lengkap dan penggalan percakapan. Wacana dengan media komunikasi tulis dapat berwujud sebuah teks, sebuah alinea, dan sebuah wacana.
c.       Pemaparan Wacana
Pemaparan wacana sama dengan tinjauan isi, cara penyusunan, dan sifatnya. Berdasarkan pemaparan, wacana meliputi naratif, prosedural, hortatori, ekspositori, dan deskriptif.
d.      Jenis Pemakaian Wacana
Jenis pemakaian wacana berwujud monolog, dialog, dan polilog. Wacana monolog merupakan wacana yang tidak melibatkan bentuk tutur percakapan atau pembicaraan antara dua pihak yang berkepentingan. Wacana yang berwujud dialog berupa percakapan atau pembicaraan antara dua pihak. Wacana polilog melibatkan partisipan pembicaraan di dalam konservasi.

DAFTAR PUSTAKA
Djajasudarma, Fatimah. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Eresko.
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS Printing Cemerlang.
Kushartanti, Multamia dan Lauder, Untung Yuwono. 2008. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syamsuddin A.R. 1992. Studi Wacana: Teori-Analisis Pengajaran. Bandung: FPBS IKIP Bandung.