Sabtu, 13 Juni 2015

IMPLIKATUR, PRAANGGAPAN DAN INFERENSI




A. PENGERTIAN IMPLIKATUR
Konsep tentang implikatur pertama kali dikenalkan oleh H.P. Grice (1975) untuk memecahkan masalah tentang makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan dengan teori semantik biasa. Suatu konsep yang paling penting dalam ilmu pragmatik dan yang menonjolkan pragmatik sebagai suatu cabang ilmu bahasa ialah konsep implikatur percakapan. Konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara “apa yang diucapkan” dengan “apa yang diimplikasi”. Sebuah ujaran dapat mengimplikasikan proposisi, yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari ujaran tersebut dan bukan pula merupakan konsekuensi logis dari ujaran. Dapat didefinisikan bahwa implikatur adalah maksud yang tersirat dalam sebuah ujaran. Kadang kala suatu ujaran sulit mendapat pengertian karena menyembunyikan suatu maksud tertentu. Levinson (dalam Rani dkk, 2006:173) mengemukakan ada empat kegunaan konsep implikatur, yaitu:
1. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta yang tidak terjangkau oleh teori linguistik.
2. Dapat memberikan suatu penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa.
3. Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.
4. Dapat memBerikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora).
Penggunaan implikatur dalam berbahasa bukan berarti sebuah ketidaksengajaan atau tidak memiliki fungsi tertentu. Penggunaan implikatur dalam berbahasa mempunyai pertimbangan seperti untuk memperhalus tuturan, menjaga etika kesopanan, menyindir dengan halus (tak langsung), dan menjaga agar tdak menyinggung perasaan secara langsung. Dalam tuturan implikatif, penutur dan lawan tutur harus mempunyai konsep yang sama dalam suatu konteks. Jika tidak, maka akan terjadi suatu kesalahpahaman atas tuturan yang terjadi di antara keduanya. Dalam hubungan timbal balik di konteks budaya kita, penggunaan implikatur terasa lebih sopan, misalnya untuk tindak tutur menolak, meminta, memberi nasihat, menegur dan lain-lain. Tindak tutur yang melibatkan emosi mitra tutur pada umumnya lebih diterima jika disampaikan dengan implikatur.
Kemampuan untuk memahami implikatur dalam sebuah tuturan tergantung pada kompetensi linguistik yang dikuasai seseorang. Seorang penutur tidak mungkin menguasai seluruh unsur bahasa karena kompetensi linguistik seseorang itu terbatas. Namun dengan keterbatasan ini, seorang penutur mampu menghasilkan ujaran yang tidak terbatas. Seorang penutur dan lawan tutur akan mampu memahami dan menghasilkan ujaran baru yang benar-benar baru dalam bahasanya.

B. PRAANGGAPAN ATAU PRESUPOSISI
Prsuposisi atau praanggapan berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang lawan bicara atau yang dibicarakan. Selain definisi tersebut beberapa definisi lain tentang praanggapan diantaranya adalah: Levinson (dalam Nababan, 19887: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau ungkapan mempunyai makna.
Louise Cummings (1999: 42) mwnyatakan bahwa praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.

C. INFERENSI
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).


D. HAKIKAT KONTEKS

Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog atau polilog)
Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, paragraf, dan bahkan wacana. Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.
Dalam menganalisis wancana sasaran utamanya bukan pada struktur kalimat tetapi pada status dan nilai fungsional kalimat dalam konteks, baik itu konteks linguistik ataupun konteks ekstralinguistik. Tiga manfaat konteks dalam analisis wacana.
1. Penggunaan konteks untuk mencari acuan, yaitu pembentukan acuan berdasarkan konteks linguistik.
2. Penggunaan konteks untuk menentukan maksud tuturan, yaitu bahwa maksud sebuah tuturan ditentukan oleh konteks wacana.
3. Penggunaan konteks untuk mencari bentuk tak terujar, yaitu bentuk yang memiliki unsur tak terujar atau bentuk eliptis adalah bentuk yang hanya dapat ditentukan berdasarkan konteks.
http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=164:pbin-4216-wacana-bahasa-indonesia&catid=30:fkip&Itemid=75.
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa implikatur dalam kajian Pragmatik merupakan suatu hal yang sangat penting karena pada kehidupan sehari-hari kita sering menemukan fenomena kebahasan yang mengandung implikatur. Wacana Pojok dalam hal ini Nuwun Sewu menggunakan implikatur sebagai sarana untuk menyindir, menanggapi, mengkritik, memberi simpati dan lain-lain kepada pihak-pihak tertentu dengan tujuan agar pihak-pihak yang menjadi objek implikatur mengerti dan merefleksikan apa yang telah dilakukannya. Nuwun Sewu memakai implikatur dengan aplikasi konteks sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pemakaian implikatur dalam wacana ini juga dapat menjadi sebuah dasar jika sindiran, kritikan, bahkan makian tidak selalu disampaikan secara langsung dan transparan.


DAFTAR PUSTAKA

http://edisicetak.solopos.com/zindex_menu.asp?kodehalaman=206&id=70183.
http://lisadypragmatik.blogspot.com/2007/07/pragmatik-oleh-sidon.html.
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php.
http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=164:pbin-4216-wacana-bahasa-indonesia&catid=30:fkip&Itemid=75.
Louise, Cummings. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta:
Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar