Analisis Wacana Kritis
(AWK) Model Norman Fairclough
A. Karakteristik
Analisis Wacana Kritis
Analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor
penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan
dalam masyarakat terjadi. Mengutip Fairclough dan Wodak (Badara, 2012:29),
analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa kelompok sosial
yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut ini
disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis yang disarikannya
oleh Eriyanto dari tulisan Van Dijk, Fairclough, dan Wodak:
1.
Tindakan
Prinsip
pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman semacam itu
wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Wacana bukan ditempatkan seperti
dalam ruang tertutup dan internal. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang
bertujuan, apakah untuk memengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah, bereaksi,
dan sebagainya. Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu,
baik besar maupun kecil. Selain itu, wacana juga dipahami sebagai sesuatu yang
diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau
diekspresikan di luar kesadaran.
2.
Konteks
Analisis
wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar, situasi,
peristiwa, dan kondisi. Wacana dalam hal ini diproduksi, dimengerti, dan
dianalisis pada suatu konteks tertentu. Merujuk pada pandangan Cook (Badara,
2012:30), analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang
mengomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan
situasi apa; melalui medium apa; bagaimana
perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap
masing-masing. Studi mengenai bahasa di sini memasukkan konteks, karena bahasa
selalu berada dalam konteks dan tidak ada tindakan komunikasi tanpa partisipan,
interteks, situasi, dan sebagainya. Meskipun demikian, tidak semua konteks
dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan berpengaruh atas produksi dan
penafsiran teks yang dimasukkan ke dalam analisis.
3.
Histori
Menempatkan
wacana dalam konteks sosial tertentu berarti wacana diproduksi dalam konteks
tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks yang
menyertainya. Salah satu aspek yang penting untuk bisa mengerti suatu teks
ialah dnegan menempatkan wacana tersebut dalam konteks historis tertentu.
Misalnya, kita melakukan analisis wacana teks selebaran mahasiswa yang
menentang Suharto. Pemahaman mengenai wacana teks tersebut hanya dapat
diperoleh apabila kita dapat memberikan konteks historis di mana teks tersebut
dibuat; misalnya, situasi sosial politik, suasana pada saat itu.
4.
Kekuasaan
Di
dalam analisis wacana kritis juga dipertimbangkan elemen kekuasaan di dalam
analisisnya. Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa
pun, tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi
merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu
kunci hubungan antara wacana dan masyarakat. Misalnya, kekuasaan laki-laki
dalam wacana mengenai seksisme atau kekuasaan perusahaan yang berbentuk
dominasi pengusaha kelas atas kepada bawahan.
5.
Ideologi
Ideologi
memiliki dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi
dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia yang menyatakan nilai kelompok sosial
tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Adapun
secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu
kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang
mengenai realitas sosial. Sebuah teks tidak pernah lepas dari ideologi dan
memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi.
B. Analisis
Wacana Kritis (AWK) Model Norman Fairclough
Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan
bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke
dalam tiga dimensi yaitu text, discourse
practice, dan sosial practice. Text berhubungan dengan linguistik,
misalnya dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat, juga koherensi
dan kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu
pengetian. Discourse practice
merupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan konsumsi teks;
misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat menghasilkan berita. Social practice, dimensi yang
berhubungan dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau konteks
dari media dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu.
Berdasarkan hal di atas, maka dirumuskanlah suatu
pengertian analisis wacana yang bersifat kritis yaitu suatu pengkajian secara
mendalam yang berusaha mengungkapkan kegiatan, pandangan, dan identitas
berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Analisis wacana menggunakan pendekatan
kritis memperlihatkan ketepaduan: (a) analisis teks; (b) analisis proses,
produksi, konsumsi, dan distribusi teks; serta (c) analisis sosiokultural yang
berkembang di sekitar wacana itu.
Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks
berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu (Jorgensen dan Phillips, 2007:124):
a.
Analisis
tekstual yang terinci di bidang linguistik;
b.
Analisis
makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak
menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
c.
Tradisi
interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan
analisa percakapan) dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk
tindakan seseorang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan “kaidah
akal sehat”.
Model Norman Fairclough
(Eriyanto, 2001: 286) membagi analisis wacana kritis ke dalam tiga dimensi,
yakni:
1. Dimensi
Tekstual (Mikrostruktural)
Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu
representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan
cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk
teks. Analisis dimensi teks meliputi bentuk-bentuk tradisional analisis linguistik
– analisis kosa kata dan semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih
kecil, dan sistem suara (fonologi) dan sistem tulisan. Fairclough menadai pada
semua itu sebagai ‘analisis linguistik’, walaupun hal itu menggunakan istilah
dalam pandangan yang diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat
dianalisis dalam membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:
a.
Kohesi dan Koherensi
Analisis ini ditujukan untuk menunjukkan cara klausa dibentuk
hingga menjadi kalimat, dan cara kalimat dibentuk hingga membentuk satuan yang
lebih besar. Jalinan dalam analisis ini dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan kata (repetisi),
sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-lain.
b.
Tata Bahasa
Analisis tata bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam
analisis wacana kritis. Analisis tata bahasa dalam analisis kritis lebih
ditekankan pada sudut klausa yang terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis
dari sudut ketransitifan, tema, dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis
untuk mengetahui penggunaan verba yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif
atau klausa pasif, dan bagaimana signifikasinya jika menggunakan nominalisasi.
Penggunaan klausa aktif, pasif, atau nominalisasi ini berdampak pada pelaku,
penegasan sebab, atau alasan-alasan pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh
penggunaan klausa aktif senantiasa menempatkan pelaku utama/subjek sebagai tema
di awal klausa. Sementara itu, penempatan klausa pasif dihilangkan. Pemanfaatan
bentuk nominalisasi juga mampu membiaskan baik pelaku maupun korban, bahkan
keduanya.
Tema merupakan analisis terhadap tema yang tertujuan untuk
melihat strkutur tematik suatu teks. Dalam analisis ini dianalisis tema apa
yang kerap muncul dan latar belakang kemunculannya. Representasi ini
berhubungan dengan bagian mana dalam kalimat yang lebih menonjil dibandingkan
dengan bagian yang lain. Sedangkan modalitas digunakan untuk menunjukkan
pengetahuan atau level kuasa suatu ujaran. Fairclough melihat modalitas sebagai
pembentuk hubungan sosial yang mampu menafsirkan sikap dan kuasa. Contoh:
penggunaan modalitas pada wacana kepemimpinan pada umumnya akan didapati
mayoritas modalitas yang memiliki makna perintah dan permintaan seperti
modalitas mesti, harus, perlu, hendaklah,
dan lain-lain.
c.
Diksi
Analisis
yang dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan dalam teks.
Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut. Pilihan
kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa,
seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu. Kosakata
ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana realitas
ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada akhirnya mengonstruksi
realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata untuk miskin, tidak mampu, kurang mampu, marjinal,
terpinggirkan, tertindas, dan lain-lain.
2. Dimensi
Kewacanan (Mesostruktural)
Dimensi kedua yang
dalam kerangka analisis wacana kritis Norman Fairclough ialah dimensi kewacanaan
(discourse practice). Dalam analisis dimensi ini, penafsiran dilakukan
terhadap pemrosesan wacana yang meliputi aspek penghasilan, penyebaran, dan
penggunaan teks. Beberapa dari aspek-aspek itu memiliki karakter yang lebih
institusi, sedangkan yang lain berupa proses-proses penggunaan dan penyebaran
wacana. Berkenaan dengan proses-proses institusional, Fairclough merujuk
rutinitas institusi seperti prosedur-prosedur editor yang dilibatkan dalam
penghasilan teks-teks media. Praktik wacana meliputi cara-cara
para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu
sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja
media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita,
menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media. Fairclough
mengemukakan bahwa analisis kewacananan berfungsi untuk mengetahui proses
produksi, penyebaran, dan penggunaan teks. Dengan demikian, ketiga tahapan
tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis dimensi kewacanan.
a. Produksi
Teks
Pada tahap ini dianalisis
pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi teks itu sendiri (siapa yang
memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak pada level terkecil hingga
bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik modal. Contoh pada kasus
wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai organisasi media
itu sendiri (latar belakang wartawan redaktur, pimpinan media, pemilik modal,
dll). Hal ini mengingat kerja redaksi adalah kerja kolektif yang tiap bagian
memiliki kepentingan dan organisasi yang berbeda-beda sehingga teks berita yang
muncul sesungguhnya tidak lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil
negosiasi dalam ruang redaksi.
b. Penyebaran
Teks
Pada tahap ini dianalisis bagaimana
dan media apa yang digunakan dalam penyebaran teks yang diproduksi sebelumnya.
Apakah menggunakan media cetak atau elektronik, apakah media cetak koran, dan
lain-lain. Perbedaan ini perlu dikaji karena memberikan dampak yang berbeda
pada efek wacana itu sendiri mengingat setiap media memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Contoh: pada kasus wacana media wacana yang
disebarkan melalui televisi dan koran memberi efek/dampak yang berbeda terhadap
kekuatan teks itu sendiri. Televisi
melengkapi dirinya dengan gambar dan suara, namun memiliki keterbatasan waktu.
Sementara itu koran tidak memiliki kekuatan gambar dan suara, tapi memiliki
kekekalan waktu yang lebih baik dibandingkan televisi.
c. Konsumsi
Teks
Dianalisis pihak-pihak yang menjadi
sasaran penerima/pengonsumsi teks. Contoh pada kasus wacana media perlu
dilakukan analisis yang mendalam mengenai siapa saja pengonsumsi media itu
sendiri. setiap media pada umumnya telah menentukan “pangsa pasar”nya masing-masing.
3. Dimensi
Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)
Dimensi ketiga adalah
analisis praktik sosiobudaya media dalam analisis wacana kritis Norman
Fairclough merupakan analisis tingkat makro yang didasarkan pada pendapat bahwa
konteks sosial yang ada di luar media sesungguhnya memengaruhi bagaimana
wacana yang ada ada dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang
atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor
di luar media itu sendiri. Praktik sosial-budaya menganalisis
tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan
dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang
juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial
budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi
dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh
institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan
situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem
budaya masyarakat secara keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice ini antara lain:
a. Situasional
Setiap teks yang lahir pada umumnya
lahir pada sebuah kondisi (lebih mengacu pada waktu) atau suasana khas dan
unik. Atau dengan kata lain, aspek situasional lebih melihat konteks peristiwa
yang terjadi saat berita dimuat.
b. Institusional
Level ini melihat
bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi organisasi pada praktik
ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa berasal dari kekuatan
institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan salah satu hal yang
mempengaruhi isi sebuah teks.
c. Sosial
Aspek sosial melihat
lebih pada aspek mikro seperti sistem ekonomi, sistem politik, atau sistem
budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian, melalui analisis wacana model
ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks dengan membongkar teks tersebut
sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata, sebuah teks pun mengandung ideologi
tertentu yang dititipkan penulisnya agar masyarakat dapat mengikuti alur
keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika melakukan analisis menggunakan
model ini kita pun harus berhati-hati jangan sampai apa yang kita lakukan malah
menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan sumber yang jelas.
BAB IV
SIMPULAN
Mengutip Fairclough dan Wodak (Badara, 2012:29),
analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa kelompok sosial
yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing. Berikut ini
disajikan karakteristik penting dari analisis wacana kritis yang disarikannya
oleh Eriyanto dari tulisan Van Dijk, Fairclough, dan Wodak: Tindakan, Konteks, Histori,
Kekuasaan, dan Ideologi.
Norman Fairclough (Badara, 2012:26) mengemukakan
bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis wacana ke
dalam tiga dimensi yaitu text, discourse
practice, dan sosial practice.
Daftar Pustaka
Badara,
Aris. 2012. Analisis Wacana: Teori,
Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Eriyanto.
2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis
Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Mayasari,
dkk. 2012. Analisis Wacana Kritis
Pemberitaan “Saweran untuk Gedung KPK di Harian Umum Media Indonesia [online]. http://jlt-polinema.org/?p=296, diakses pada 22 Mei 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar