Sabtu, 13 Juni 2015

Analisis Wacana Menurut Van Djik

  DEFINISI WACANA DAN ANALISIS WACANA
Wacana merupakan satuan bahasa berdasarkan kata yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu merupakan deretan kata atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antara penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana dapat dlihat sebagai hasil dari pengungkapan idea/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Bagaimana Terbentuknya Wacana. Penggunaan bahasa berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kata atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kata atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent). Wacana dikatakan utuh apabila kata-kata dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kata-katanya disusun secara teratur dan sistematik sehingga menunjukkan kebenaran ide yang diungkapkan. Analisis wacana di dalam ilmu komunikasi bersumber dari pemikiran Marxis Kritis. (Stephen W. Littlejohn, 2002; Stanley J. Baran and Denis K. Davis, 2000). Ada tiga aliran pemikiran yang termasuk ke dalam kategori ini, iaitu: (1). Aliran Frankfurt (Frankfurt School); (2). Pengajian Budaya (Cultural Studies); (3). Pengajian Wanita (Feminist Study). (Stephen W. Littlejohn, 2002).
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besardari berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacanaa berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana? Disini ada beberapa perbedaan pandangan. Mohammad A. S. Hikam dalam suatu tulisannya telah membahas dengan baik perbedaan paradigma analisis wacanaa dalam melihat bahasa ini yang akan diringkas sebagai berikut. Paling tidak ada tiga pandangan mengeneai bahasa dalam analisis wacanaa. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivme-empiris. Oleh kaum ini , bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakaipenyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris.
Salah satu cirri daripemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacanaa, konsekuensi logis dari pemahaman ini orangtidak perlu mengetahui makna-makna subjektif ataunilaiyangmendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari aliran positivme-empiris tentang wacanaa. Analisis wacanaa dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacanaa lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik). Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme.
Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacanaa serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S. Hikam, subjek memiliki kemampuan-kemampuan melakukan control terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacanaa. Bahasa dipahami dalam paradigm ini diatur dan dihidupkan oleh pernyatan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacanaa dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membonhgkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Wacanaa adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan memnempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitive pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belummenganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacanaa, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigm kritis. Analisis wacanaa tidak dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacanaa dalam paradigm ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. bahasa disini tidak difahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara.
Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi didalamnya. Oleh karena itu, analisis wacanaa dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacanaa, perspektif yang merti dipakai, topic apa yang dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacanaa melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. karena memakai perpektif kritis, analisis wacanaa kategori ketiga itu juga disebut sebagai analisis wacanaa kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). Ini untuk membedakan dengan analisis wacanaa dalam kategori yang pertama atau kedua (Discourse Analysis). Analisis wacana muncul sebagai suatu reaksi terhadap linguistik murni yang tidak bisa mengungkap hakikat bahasa secara sempurna. Dalam hal ini para pakar analisis wacana mencoba untuk memberikan alternative dalam memahami hakikat bahasa tersebut. Analisis wacana mengkaji bahasa secara terpadu, dalam arti tidak terpisah-pisah seperti dalam linguistik, semua unsure bahasa terikat pada konteks pemakaian. Oleh karena itu, analisis wacana sangat penting untuk memahamihakikat bahsa dan perilaku berbahasa termasuk belajar bahasa.
Analisis wacana adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam komunikasi. Stubbs (1983:1) mengatakan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan maupun tulis, misalnya pemakaian bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Selanjutnya stubbs menjelaskan bahwa analisis wacana menekankankajiannya pada penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam penggunaan bahasa antar penutur. Jadi jelasnya analisis wacan bertujuan untuk mencari keteraturan bukan kaidah. Yang dimaksud dengan keteraturan, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan keberterimaan penggunaan bahasa di masyarakatsecara realita dan cenderung tidak merumuskan kaidah bahasa seperti dalam tata bahasa. Kartomiharjo (1999:21) mengungkap bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Analisis wacana lazim digunakan untuk menemukan makna wacana yang persis sama atau paling tidak sangat ketat dengan makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan, atau oleh penulis dalam wacana tulis.

Berdasarkan analisisnya, cirri dan sifat wacana menurut syamsuddin (1992:6) analisis wacanadapat dikemukakan sebagai berikut:
  1. Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa didalam masyarakat (rule of use-menurut woddowson, 1978).
  2. Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Firth, 1957).
  3. Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantic (Beller).
  4. Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa (what is said from what is done menurut Labov, 1970).
  5. Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional (functional use of language- menurut Coulthard, 1977).
Ciri-ciri dasar lain dapat diramu dari pendapat beberapa ahli, seperti merit, Sclegloff dan Sacls, Fraser, Searle, Richard, Halliday, Hasan, dan Horn, antara lain sebagai berikut. (Syamsuddin, 1992:6).
  1. Analisis wacana bersifat interpretative pragmatis, baik bentuk bahasanya maupun maksudnya (form and notion).
  2. Analisis wacana banyak bergantung pada interpretasi terhadap konteks dan pengetahuan yang luas (interpretation of world).
  3. Semua unsur yang terkandung di dalam wacana dianalisis sebagai suatu rangkaian.
  4. Wujud bahasa dalam wacana itu lebih jelas karena didukung oleh situasi yang tepat (All material used in real that is actually having occurred in appropriate situational).
  5. Khusus untuk wacana dialog, kegiatan analisis terutama berkaitan dengan pertanyaan, jawaban, kesempatan berbicara, penggalan percakapan, dan lain-lain.
Tokoh analisis wacana adalah Sinclair dan Coulthard (1979). Mereka meneliti wacana yang dibentuk dalam interaksi guru dan murid di kelas. Mereka merekam sejumlah peristiwa belajar-mengajar di sekolah dasar di Inggris. Menurut Coulthard (1997) analisis wacana dimulai oleh ide Firth yang mengungkap tentang linguistik kontekstual bahwa bahasa baru bermakna apabila berada dalam suatu konteks. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Brown dan Yule (1983:27-67) yang menyatakan bahwa dalam menginterpretasi makna sebuah ujaran perlu memperhatikan konteks, karena kontekslah yang akan memaknai ujaran.
2.2 TEORI KOGNISI SOSIAL TEUN A. VAN DIJK
Dari begitu banyak model analisis wacana yang diintoduksikan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini mungkin disebabkan karena van Dijk menformulasikan elemen-elemen wacana, sehingga bisa dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial” (Eriyanto 2001:221). Menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana. Di sini ada dua bagian, yaitu teks yang mikro yang merepresentasikan suatu topik permasalahan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur sosial. van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial. Kognisi sosial tersebut mempunyai dua arti. Di satu sisi ia menunjukkan bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan/ media, di sisi lain ia menggambarkan nilai-nilai masyarakat itu menyebar dan diserap oleh kognisi wartawan dan akhirnya digunakan untuk membuat teks berita (Eriyanto 2001:222).
Dalam buku Eriyanto, Van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/ pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/ bangunan : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks yang pertama, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis Van Dijk (Eriyanto 2001:225).

1.Teks
Van Dijk membagi struktur teks ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna global/ umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka atau skema suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, parafrase dan lain-lain.
Meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan baru kemudian pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Kita bisa membuat pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa terhadap isu kenaikan BBM. Misalnya, Koran A mengatakan bahwa aksi ini terjadi karena kekecewaan mahasiswa dan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM semata tanpa ada motif atau tuntutan yang lain.
 Tema ini akan didukung dengan skematik tertentu. Misalnya dengan menyusun cerita yang mendukung gagasan tersebut. Media tersebut juga akan menutupi fakta tertentu dan hanya akan menjelaskan peristiwa itu semata pada masalah BBM. Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai pemakaian kata-kata yang menunjuk dan memperkuat pesan bahwa demonstrasi tersebut semata kasus kenaikan harga. Semua teks dipandang van Dijk mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai sebuah piramida. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan proposisi yang dipakai. Pernyataan atau tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat, atau retorika tertentu. Pemakaian kata, kalimat, proposisi, retorika tertentu oleh media dipahami van Dijk sebagai bagian dari strategi wartawan. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata dipandang sebagai cara berkomunikasi melainkan sebagai politik berkomunikasi, suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang. Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu elemen dalam teks.
a). Tematik
Elemen tematik mempostulatkan pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Topik menggambarkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik menggambarkan tema umum dari suatu teks berita, topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik yang lain yang saling mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik, sehingga saling mendukung antara satu bagian dengan bagian yang lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh. Misalnya suatu teks berita mengenai Soeharto. Tema umum dari berita tersebut adalah hal-hal positif yang dimiliki oleh Soeharto dan hal-hal positif yang didapat oleh masyarakat Indonesia pada masa pemerintahannya. Kalau kita menggunakan kerangka van Dijk, dalam teks akan didukung oleh beberapa subtopik, misalnya : harga barang-barang atau sembako yang murah, pembangunan dimana-mana, perekonomian maju. Masing-masing subtopik ini kalau diperhatikan mendukung, memperkuat bahkan membentuk topik utama berupa kemajuan pemerintahan Soeharto. Masing-masing subtema ini juga akan didukung oleh bagian yang lebih kecil. Misalnya dalam subtema akan diuraikan bahwa keluarga Cendana juga mendirikan yayasan amal. Dengan kata lain, semua fakta saling dukung membentuk satu pengertian umum yang koheren. Namun, peristiwa yang sama bisa jadi dipahami secara berbeda oleh wartawan yang berbeda, dan ini dapat diamati dari topik suatu pemberitaan.

b). Skematik
Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Meskipun mempunyai bentuk dan skema yang beragam, berita umumnya mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary yang biasanya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Elemen skema ini merupakan elemen yang dipandang paling penting. Judul umumnya menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Lead umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara lengkap. Kedua, story yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita ini juga mempunyai dua subkategori. Yang pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya peristiwa, sedang yang kedua komentar yang ditampilkan dalam teks.
Subkategori situasi yang menggambarkan kisah suatu peristiwa umumnya terdiri atas dua bagian. Yang pertama mengenai episode atau kisah utama dari peristiwa tersebut, dan yang kedua latar untuk mendukung episode yang disajikan kepada khalayak. Misalnya berita tentang konser Dewi Persik yang batal diselenggarakan karena mendapat protes dan kecaman keras dari masyarakat. Episode ini umumnya juga akan didukung oleh latar, misalnya, dengan mengatakan ini pembatalan konser Dewi Persik yang kesekian kali. Dengan demikian, latar umumnya dipakai untuk memberi konteks agar suatu peristiwa lebih jelas ketika disampaikan kepada khalayak.
Sedangkan subkategori komentar yang menggambarkan bagaimana pihak-pihak yang terlibat memberikan komentar atas suatu peristiwa terdiri atas dua bagian. Pertama, reaksi atau komentar verbal dari tokoh yang dikutip wartawan. Kedua, kesimpulan yang diambil oleh wartawan dari komentar beberapa tokoh. Menurut van Dijk, arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang disembunyikan. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol.

c). Latar
Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi arti yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan masyarakat hendak dibawa. Misalnya ada berita mengenai Bibit Waluyo, seorang kandidat atau calon Gubernur untuk propinsi Jawa Tengah. Bagi yang pro atau mendukung Bibit Waluyo, latar yang dipakai adalah prestasi-prestasi dan keberhasilan Bibit Waluyo. Sedangkan yang kontra atau tidak mendukung tentu akan sebaliknya. Latar dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana teks itu dibawa.

d). Detil
Elemen Detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit, selain itu elemen wacana detil berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang (Eriyanto, 2006: 238). Detil yang lengkap dan panjang merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakn citra tertentu kepada khalayak. Detil yang lengkap ini akan dihilangkan kalau berhubungan dengan sesuatu yang menyangkut kelemahan atau kegagalan komunikator. Hal yang menguntungkan komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara detil, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan, detil informasi akan dikurangi. Dalam mempelajari detil, yang harus dipelajari atau diteliti adalah keseluruhan dimensi peristiwa, bagaian mana yang diuraikan secara panjang lebar oleh wartawan.  Misalnya kekalahan tim Thomas Indonesia yang diekspos terlalu berlebihan tetapi dengan cara menyajikan berbagai informasi yang tidak perlu.


e). Maksud
Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detil, hanya saja elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implicit, dan tersembunyi. Misalnya pendeskripsian secara jelas dan gamblang cara-cara kekerasan dan koersif yang dilakukan oleh polisi dalam upaya menertibkan pedagang kaki lima.


f). Koherensi
Koherensi adalah pertautan atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh wartawan. Misalnya proposisi “demonsterasi mahasiswa” dan “nilai tukar rupiah melemah” adalah dua buah fakta yang berlainan. Dua buah proposisi itu menjadi berhubungan sebab-akibat ketika ia dihubungkan dengan kata hubung “mengakibatkan” sehingga kalimatnya menjadi “Demonsterasi mahasiswa mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah” dua buah kalimat itu menjadi tidak berhubungan ketika dipakai kata hubung “dan”. Kalimatnya kemudian menjadi “ Demonsterasi mahasiswa dan nilai tukar rupiah melemah”. Dalam kalimat ini, antara fakta banyaknya demonsterasi dan nilai tukar rupiah dipandang tidak saling berhubungan, kalimat satu tidak menjelaskan kalimat lain. Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandaang terpisah, berhubungan, atau merupakan hubunagn sebab-akibat. Pilihan yang diambil ditentukan oleh sejauh mana kepentingan komunikator terhadap peristiwa tersebut.

g) Koherensi Kondisional
            Koherensi kondisional diantaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas yang dihubungkan dengan konjungsi. Disini ada dua kalimat, dimana kalimat kedua adalah penjelas atau keterangan dari proposisi pertama, yang dihubungkan dengan kata hubung, seperti “yang” atau “di mana”. Kalimat kedua hanya berfungsi sebagai penjelas (anak kalimat), sehingga ada atau tidak anak kalimat itu, tidak akan mengurangi arti kalimat. Anak kalimat itu menjadi cermin kepentingan komunikator karena ia dapat memberikan keterangan yang baik/buruk terhadap suatu pernyataan. Seperti dalam sebuah kalimat “PSSI, yang selalu kalah dalam pertandingan internasional, tidak jadi dikirim ke Asian Games”. Arti kalimat tersebut tidak akan berubah jika seandainya diubah menjadi “PSSI tidak jadi dikirim ke Asian Games “, Anak kalimat “yang selalu kalah dalam pertandingan” selain menjadi penjelas juga juga bermakna ejekan terhadap PSSI. Selain itu juga member informasi kepada public bahwa PSSI tidak dikirim karena prestasinya selama ini buruk.




h) Koherensi Pembeda
Koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Seperti mengenai kebebasan pers di era Gus Dur. Pada era Gus Dur kebebasa pers dijamin, namun terjadi peristiwa pendudukan Banser terhadap harian Jawa Post hingga menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit. Ini satu peristiwa atau fakta. Ada fakta lain, pada era Hambibie, kebebasan pers juga dijamin, dan pada masa ini tidak ada pendudukan sekelompokorang terhadap media massa tertentu. Dua buah peristiwa itu terpisah, tidak berhubungan juga tidak menyulut peristiwa lain. Akan tetapi kedua masalah tersebut bisa dibuat berhubungan dengan cara membuat satu pristiwa sebagai kebalikan/kontras dari pristiwa lain. Dalam contoh kasus tersebut, bisa saja dikatakan alangkah berbedanya masa pemerintahan Hambibie dan Gus Dur, atau pemerintahan Hambibie lebih baik daripada pemerintahan Gus Dur. Kata sambung yang sering dipakai untuk membedakan dua kalimat ini adalah “dibandingkan”, sehingga kalimatnya bisa saja menjadi “ Dibandingkan pemerintahan hambibie, kebebasan pers pada era Gus Dur mengalami kemundurun. Pada masa Gus Dur terjadi peristiwa pendudukan Baser atas Jawa Post yang menyebabkan Koran tersebut tidak bisaterbit”.

i). Pengingkaran
Elemen wacana pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Pengingkaran menunjukkan seolah wartawan menyetujui sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuannya tersebut. Misalnya pernyataan (saya memang orang Jogja tulen, tetapi uang Sultan dari perkawinan Putrinya itu memang perlu diselidiki KPK….)

j). Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir yang logis, yaitu prinsip kausalitas. Di mana ia menanyakan apakah A yang menjekaskan B, atau B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini jika diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan objek (diterangkan) dan predikat (menerangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Kasus pemukulan mahasiswa oleh polisi dapat disusun ke dalam bentuk kalimat aktif, dapat juga pasif. Kalimat “Polisi memukul Mahasiswa” menempatkan polisi sebagai subjek dan memberi glorifikasi kepada kesalahan polisi. Sebaliknya, “kalimat“Mahasiswa dipukul Polisi”, polisi ditempatkan secara tersembunyi. Pada umumnya, pokok yang dipandang penting selalu ditempatkan di awal kalimat. Bentuk lain adalah dengan pemakaian urutan kata-kata yang mempunyai dua fungsi skaligus. Pertama, menekankan atau menghilangkan dengan penempatan dan pemakaian kata atau frase yang mencolok dengan menggunakan permainan semantik. Yang juga penting dalam sintaksis selain bentuk kalimat adalah posisi proposisi dalam kalimat. Bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Proposisi mana yang ditempatkan di awal kalimat dan mana yang di tempat diakhir kalimat. Penempatan ini memengaruhi makna yang timbul karena menunjukkan bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang disembunyikan.

k). Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa denga menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Akan tetapi, ketika memakai kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan. Pemakaian kata ganti yang jamak seperti “kita” atau “kami” mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi serta mengurangi kritik dan oposisi.

l). Leksikon
Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata/ diksi atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “ditangkap”, misalnya mempunyai kata lain : diamankan, disekap, ditahan dan lain-lain. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih pilihan yang tersedia. Secara ideologis, pilihan kata yang dipakai menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.

m). Praanggapan
Elemen wacana praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpecaya sehingga tidak perlu dipertanyakan.  Misalnya dalam suatu aksi pengrusakan sebuah diskotik oleh FPI. Seseorang yang setuju dengan hal itu akan memakai pranggapan berupa pernyataan “Perjuangan FPI ini membela Islam”.

n) Metafora
Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita . akan tetapi penggunaan metafora tertentu bisa jadi dipakai oleh wartawan secara sterategi sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat tertentu kepada publik. Penggunaan ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, leluhur, kata-kata kuno, bahkan ungkapan ayat suci dipakai untuk memperkuat pesan utama. 

o) Grafis
Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolakan (yang berat dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam berita elemen grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisanyang dibuat berbeda dibandingkan dengan tulisan lain, seperti pemakain huruf tebal, huruf miring, garis bawah, huruf dengan ukurun lebih besar, termasuk pemakaian caption, raster,grafik, gambar, foto dan atau table untuk mendukung pesan. Elemen grafis member efek kognitif, dalam arti, ia mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukka apakah suatu informasi itu dianggap penting sehingga harus difokuskan. Pemakaian jumlah, ukuran statistik menurut van Dijk bukan semata bagian dari standar jurnalistik, melainkan juga menyugestikan presisi dari apa yang hendak dikatakan dalam teks. Pencantuman jumlah mahasiswa dalam bentrokan misalnya, selain sebagai standar jurnalistik, juga upaya dan strategi wartawan untuk meyakinkan publik, hal itu dikarenakan angka masih dianggap paling benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar