Wacana
merupakan satuan bahasa berdasarkan kata yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu merupakan deretan
kata atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat
bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi
secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi
antara penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis,
wacana dapat dlihat sebagai hasil dari pengungkapan idea/gagasan
penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis
wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau
menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk
tulis maupun lisan.
Bagaimana
Terbentuknya Wacana. Penggunaan bahasa berupa rangkaian kalimat atau
rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kata atau ujaran).
Wacana yang berupa rangkaian kata atau ujaran harus mempertimbangkan
prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan
(coherent). Wacana dikatakan utuh apabila kata-kata dalam wacana itu
mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan
padu apabila kata-katanya disusun secara teratur dan sistematik
sehingga menunjukkan kebenaran ide yang diungkapkan. Analisis
wacana di dalam ilmu komunikasi bersumber dari pemikiran Marxis Kritis.
(Stephen W. Littlejohn, 2002; Stanley J. Baran and Denis K. Davis,
2000). Ada tiga aliran pemikiran yang termasuk ke dalam kategori ini,
iaitu: (1). Aliran Frankfurt (Frankfurt School); (2). Pengajian Budaya
(Cultural Studies); (3). Pengajian Wanita (Feminist Study). (Stephen W.
Littlejohn, 2002).
Istilah
analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin
ilmu dan dengan berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi yang besardari
berbagai definisi, titik singgungnya adalah analisis wacanaa
berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Bagaimana
bahasa dipandang dalam analisis wacana? Disini ada beberapa perbedaan
pandangan. Mohammad A. S. Hikam dalam suatu tulisannya telah membahas
dengan baik perbedaan paradigma analisis wacanaa dalam melihat bahasa
ini yang akan diringkas sebagai berikut. Paling tidak ada tiga pandangan mengeneai bahasa dalam analisis wacanaa. Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivme-empiris.
Oleh kaum ini , bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan
objek diluar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat
secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada
kendala atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan
memakaipenyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan
dengan pengalaman empiris.
Salah
satu cirri daripemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan
realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacanaa, konsekuensi logis
dari pemahaman ini orangtidak perlu mengetahui makna-makna subjektif
ataunilaiyangmendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah
pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan
semantik. Oleh karena itu tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang
utama dari aliran positivme-empiris tentang wacanaa. Analisis
wacanaa dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan
pengertian bersama. Wacanaa lantas diukur dengan pertimbangan
kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik). Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme.
Pandangan
ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak
pandangan empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa.
Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat
sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan
dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru
menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacanaa serta
hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S.
Hikam, subjek memiliki kemampuan-kemampuan melakukan control terhadap
maksud-maksud tertentu dalam setiap wacanaa. Bahasa dipahami dalam
paradigm ini diatur dan dihidupkan oleh pernyatan-pernyataan yang
bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan
makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari
sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacanaa dimaksudkan sebagai
suatu analisis untuk membonhgkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
Wacanaa adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang
subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan
diantaranya dengan memnempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan
penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.
Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis.
Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang
sensitive pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara
historis maupun institusional. Seperti ditulis A.S. Hikam, pandangan
konstruktivisme masih belummenganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan
yang inheren dalam setiap wacanaa, yang pada gilirannya berperan dalam
membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Hal
inilah yang melahirkan paradigm kritis. Analisis wacanaa tidak
dipusatkan pada kebenaran/ketidakbenaran struktur tata bahasa atau
proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis
wacanaa dalam paradigm ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang
terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak
dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas
sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh
kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. bahasa disini tidak difahami
sebagai medium netral yang terletak diluar diri si pembicara.
Bahasa
dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan
dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun
strategi didalamnya. Oleh karena itu, analisis wacanaa dipakai untuk
membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan
apa yang diperkenankan menjadi wacanaa, perspektif yang merti dipakai,
topic apa yang dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacanaa
melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam
pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat
dalam masyarakat. karena memakai perpektif kritis, analisis wacanaa
kategori ketiga itu juga disebut sebagai analisis wacanaa kritis (Critical Discourse Analysis/CDA). Ini untuk membedakan dengan analisis wacanaa dalam kategori yang pertama atau kedua (Discourse Analysis). Analisis
wacana muncul sebagai suatu reaksi terhadap linguistik murni yang tidak
bisa mengungkap hakikat bahasa secara sempurna. Dalam hal ini para
pakar analisis wacana mencoba untuk memberikan alternative dalam
memahami hakikat bahasa tersebut. Analisis wacana mengkaji bahasa secara
terpadu, dalam arti tidak terpisah-pisah seperti dalam linguistik,
semua unsure bahasa terikat pada konteks pemakaian. Oleh karena itu,
analisis wacana sangat penting untuk memahamihakikat bahsa dan perilaku
berbahasa termasuk belajar bahasa.
Analisis
wacana adalah suatu disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan
bahasa yang nyata dalam komunikasi. Stubbs (1983:1) mengatakan bahwa
analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti dan menganalisis
bahasa yang digunakan secara alamiah, baik lisan maupun tulis, misalnya
pemakaian bahasa dalam komunikasi sehari-hari. Selanjutnya stubbs
menjelaskan bahwa analisis wacana menekankankajiannya pada penggunaan
bahasa dalam konteks sosial, khususnya dalam penggunaan bahasa antar
penutur. Jadi jelasnya analisis wacan bertujuan untuk mencari
keteraturan bukan kaidah. Yang dimaksud dengan keteraturan, yaitu
hal-hal yang berkaitan dengan keberterimaan penggunaan bahasa di
masyarakatsecara realita dan cenderung tidak merumuskan kaidah bahasa
seperti dalam tata bahasa. Kartomiharjo (1999:21) mengungkap bahwa
analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk
menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat.
Analisis wacana lazim digunakan untuk menemukan makna wacana yang persis
sama atau paling tidak sangat ketat dengan makna yang dimaksud oleh
pembicara dalam wacana lisan, atau oleh penulis dalam wacana tulis.
Berdasarkan analisisnya, cirri dan sifat wacana menurut syamsuddin (1992:6) analisis wacanadapat dikemukakan sebagai berikut:
- Analisis wacana membahas kaidah memakai bahasa didalam masyarakat (rule of use-menurut woddowson, 1978).
- Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks, dan situasi (Firth, 1957).
- Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantic (Beller).
- Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa (what is said from what is done menurut Labov, 1970).
- Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional (functional use of language- menurut Coulthard, 1977).
Ciri-ciri
dasar lain dapat diramu dari pendapat beberapa ahli, seperti merit,
Sclegloff dan Sacls, Fraser, Searle, Richard, Halliday, Hasan, dan Horn,
antara lain sebagai berikut. (Syamsuddin, 1992:6).
- Analisis wacana bersifat interpretative pragmatis, baik bentuk bahasanya maupun maksudnya (form and notion).
- Analisis wacana banyak bergantung pada interpretasi terhadap konteks dan pengetahuan yang luas (interpretation of world).
- Semua unsur yang terkandung di dalam wacana dianalisis sebagai suatu rangkaian.
- Wujud bahasa dalam wacana itu lebih jelas karena didukung oleh situasi yang tepat (All material used in real that is actually having occurred in appropriate situational).
- Khusus untuk wacana dialog, kegiatan analisis terutama berkaitan dengan pertanyaan, jawaban, kesempatan berbicara, penggalan percakapan, dan lain-lain.
Tokoh
analisis wacana adalah Sinclair dan Coulthard (1979). Mereka meneliti
wacana yang dibentuk dalam interaksi guru dan murid di kelas. Mereka
merekam sejumlah peristiwa belajar-mengajar di sekolah dasar di Inggris.
Menurut Coulthard (1997) analisis wacana dimulai oleh ide Firth yang
mengungkap tentang linguistik kontekstual bahwa bahasa baru bermakna
apabila berada dalam suatu konteks. Pendapat ini sesuai dengan pendapat
Brown dan Yule (1983:27-67) yang menyatakan bahwa dalam menginterpretasi
makna sebuah ujaran perlu memperhatikan konteks, karena kontekslah yang
akan memaknai ujaran.
2.2 TEORI KOGNISI SOSIAL TEUN A. VAN DIJK
Dari
begitu banyak model analisis wacana yang diintoduksikan dan
dikembangkan oleh beberapa ahli, model van Dijk adalah model yang paling
banyak dipakai. Hal ini mungkin disebabkan karena van Dijk
menformulasikan elemen-elemen wacana, sehingga bisa dipakai secara
praktis. Model yang dipakai oleh van Dijk ini sering disebut sebagai
“kognisi sosial” (Eriyanto 2001:221). Menurut van Dijk, penelitian atas
wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena
teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di
sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Proses
produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi
sosial. Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik
wacana. Di sini ada dua bagian, yaitu teks yang mikro yang
merepresentasikan suatu topik permasalahan dalam berita, dan elemen
besar berupa struktur sosial. van Dijk membuat suatu jembatan yang
menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen
wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial.
Kognisi sosial tersebut mempunyai dua arti. Di satu sisi ia menunjukkan
bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan/ media, di sisi
lain ia menggambarkan nilai-nilai masyarakat itu menyebar dan diserap
oleh kognisi wartawan dan akhirnya digunakan untuk membuat teks berita
(Eriyanto 2001:222).
Dalam
buku Eriyanto, Van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi,
dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/
pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu.
Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/ bangunan :
teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah
menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan
analisis. Dalam dimensi teks yang pertama, yang diteliti adalah
bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk
menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari
proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari
wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang
berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini
merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam
analisis Van Dijk (Eriyanto 2001:225).
1.Teks
Van Dijk membagi struktur teks ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro.
Ini merupakan makna global/ umum dari suatu teks yang dapat diamati
dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita.
Kedua, superstruktur. Ini
merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka atau skema
suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara
utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, parafrase dan lain-lain.
Meskipun
terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu
kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna
global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan baru
kemudian pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Kita bisa membuat
pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa terhadap isu kenaikan BBM.
Misalnya, Koran A mengatakan bahwa aksi ini terjadi karena kekecewaan
mahasiswa dan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM semata tanpa ada
motif atau tuntutan yang lain.
Tema
ini akan didukung dengan skematik tertentu. Misalnya dengan menyusun
cerita yang mendukung gagasan tersebut. Media tersebut juga akan
menutupi fakta tertentu dan hanya akan menjelaskan peristiwa itu semata
pada masalah BBM. Pada tingkat yang lebih rendah, akan dijumpai
pemakaian kata-kata yang menunjuk dan memperkuat pesan bahwa demonstrasi
tersebut semata kasus kenaikan harga. Semua teks dipandang van Dijk
mempunyai suatu aturan yang dapat dilihat sebagai sebuah piramida. Makna
global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan proposisi yang
dipakai. Pernyataan atau tema pada level umum didukung oleh pilihan
kata, kalimat, atau retorika tertentu. Pemakaian kata, kalimat,
proposisi, retorika tertentu oleh media dipahami van Dijk sebagai bagian
dari strategi wartawan. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya
tertentu bukan semata dipandang sebagai cara berkomunikasi melainkan
sebagai politik berkomunikasi, suatu cara untuk mempengaruhi pendapat
umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan
lawan atau penentang. Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk
melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang
menyampaikan pesan. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu elemen
dalam teks.
a). Tematik
Elemen
tematik mempostulatkan pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga
disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu
teks. Topik menggambarkan konsep dominan, sentral, dan paling penting
dari isi suatu berita yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam
pemberitaannya. Topik menggambarkan tema umum dari suatu teks berita,
topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik yang lain yang
saling mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini juga didukung
oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan
subtopik, sehingga saling mendukung antara satu bagian dengan bagian
yang lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh.
Misalnya suatu teks berita mengenai Soeharto. Tema umum dari berita
tersebut adalah hal-hal positif yang dimiliki oleh Soeharto dan hal-hal
positif yang didapat oleh masyarakat Indonesia pada masa
pemerintahannya. Kalau kita menggunakan kerangka van Dijk, dalam teks
akan didukung oleh beberapa subtopik, misalnya : harga barang-barang
atau sembako yang murah, pembangunan dimana-mana, perekonomian maju.
Masing-masing subtopik ini kalau diperhatikan mendukung, memperkuat
bahkan membentuk topik utama berupa kemajuan pemerintahan Soeharto.
Masing-masing subtema ini juga akan didukung oleh bagian yang lebih
kecil. Misalnya dalam subtema akan diuraikan bahwa keluarga Cendana juga
mendirikan yayasan amal. Dengan kata lain, semua fakta saling dukung
membentuk satu pengertian umum yang koheren. Namun, peristiwa yang sama
bisa jadi dipahami secara berbeda oleh wartawan yang berbeda, dan ini
dapat diamati dari topik suatu pemberitaan.
b). Skematik
Teks
atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai
akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks
disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Meskipun
mempunyai bentuk dan skema yang beragam, berita umumnya mempunyai dua
kategori skema besar. Pertama, summary
yang biasanya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Elemen
skema ini merupakan elemen yang dipandang paling penting. Judul umumnya
menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam
pemberitaannya. Lead umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin
dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara lengkap. Kedua, story
yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita ini juga mempunyai dua
subkategori. Yang pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya
peristiwa, sedang yang kedua komentar yang ditampilkan dalam teks.
Subkategori
situasi yang menggambarkan kisah suatu peristiwa umumnya terdiri atas
dua bagian. Yang pertama mengenai episode atau kisah utama dari
peristiwa tersebut, dan yang kedua latar untuk mendukung episode yang
disajikan kepada khalayak. Misalnya berita tentang konser Dewi Persik
yang batal diselenggarakan karena mendapat protes dan kecaman keras dari
masyarakat. Episode ini umumnya juga akan didukung oleh latar,
misalnya, dengan mengatakan ini pembatalan konser Dewi Persik yang
kesekian kali. Dengan demikian, latar umumnya dipakai untuk memberi
konteks agar suatu peristiwa lebih jelas ketika disampaikan kepada
khalayak.
Sedangkan
subkategori komentar yang menggambarkan bagaimana pihak-pihak yang
terlibat memberikan komentar atas suatu peristiwa terdiri atas dua
bagian. Pertama, reaksi atau komentar verbal dari tokoh yang dikutip
wartawan. Kedua, kesimpulan yang diambil oleh wartawan dari komentar
beberapa tokoh. Menurut van Dijk, arti penting dari skematik adalah
strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan
dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik
memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang
disembunyikan. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di
bagian akhir agar terkesan kurang menonjol.
c). Latar
Latar
merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi arti yang ingin
ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya
mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang
dipilih menentukan ke arah mana pandangan masyarakat hendak dibawa.
Misalnya ada berita mengenai Bibit Waluyo, seorang kandidat atau calon
Gubernur untuk propinsi Jawa Tengah. Bagi yang pro atau mendukung Bibit
Waluyo, latar yang dipakai adalah prestasi-prestasi dan keberhasilan
Bibit Waluyo. Sedangkan yang kontra atau tidak mendukung tentu akan
sebaliknya. Latar dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana teks
itu dibawa.
d). Detil
Elemen
Detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya
dengan cara yang implisit, selain itu elemen wacana detil berhubungan
dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang (Eriyanto, 2006:
238). Detil yang lengkap dan panjang merupakan penonjolan yang dilakukan
secara sengaja untuk menciptakn citra tertentu kepada khalayak. Detil
yang lengkap ini akan dihilangkan kalau berhubungan dengan sesuatu yang
menyangkut kelemahan atau kegagalan komunikator. Hal yang menguntungkan
komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara detil, sebaliknya fakta
yang tidak menguntungkan, detil informasi akan dikurangi. Dalam
mempelajari detil, yang harus dipelajari atau diteliti adalah
keseluruhan dimensi peristiwa, bagaian mana yang diuraikan secara
panjang lebar oleh wartawan. Misalnya
kekalahan tim Thomas Indonesia yang diekspos terlalu berlebihan tetapi
dengan cara menyajikan berbagai informasi yang tidak perlu.
e). Maksud
Elemen
wacana maksud, hampir sama dengan elemen detil, hanya saja elemen
maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan
secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan
diuraikan secara tersamar, implicit, dan tersembunyi. Misalnya
pendeskripsian secara jelas dan gamblang cara-cara kekerasan dan koersif
yang dilakukan oleh polisi dalam upaya menertibkan pedagang kaki lima.
f). Koherensi
Koherensi
adalah pertautan atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua
kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga
tampak koheren. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan bagaimana
peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh wartawan.
Misalnya proposisi “demonsterasi mahasiswa” dan “nilai tukar rupiah
melemah” adalah dua buah fakta yang berlainan. Dua buah proposisi itu
menjadi berhubungan sebab-akibat ketika ia dihubungkan dengan kata
hubung “mengakibatkan” sehingga kalimatnya menjadi “Demonsterasi
mahasiswa mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah” dua buah kalimat itu
menjadi tidak berhubungan ketika dipakai kata hubung “dan”. Kalimatnya
kemudian menjadi “ Demonsterasi mahasiswa dan nilai tukar rupiah
melemah”. Dalam kalimat ini, antara fakta banyaknya demonsterasi dan
nilai tukar rupiah dipandang tidak saling berhubungan, kalimat satu
tidak menjelaskan kalimat lain. Koherensi merupakan elemen wacana untuk
melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk
menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandaang
terpisah, berhubungan, atau merupakan hubunagn sebab-akibat. Pilihan
yang diambil ditentukan oleh sejauh mana kepentingan komunikator
terhadap peristiwa tersebut.
g) Koherensi Kondisional
Koherensi
kondisional diantaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai
penjelas yang dihubungkan dengan konjungsi. Disini ada dua kalimat,
dimana kalimat kedua adalah penjelas atau keterangan dari proposisi
pertama, yang dihubungkan dengan kata hubung, seperti “yang” atau “di
mana”. Kalimat kedua hanya berfungsi sebagai penjelas (anak kalimat),
sehingga ada atau tidak anak kalimat itu, tidak akan mengurangi arti
kalimat. Anak kalimat itu menjadi cermin kepentingan komunikator karena
ia dapat memberikan keterangan yang baik/buruk terhadap suatu
pernyataan. Seperti dalam sebuah kalimat “PSSI, yang selalu kalah dalam
pertandingan internasional, tidak jadi dikirim ke Asian Games”. Arti
kalimat tersebut tidak akan berubah jika seandainya diubah menjadi “PSSI
tidak jadi dikirim ke Asian Games “, Anak kalimat “yang selalu kalah
dalam pertandingan” selain menjadi penjelas juga juga bermakna ejekan
terhadap PSSI. Selain itu juga member informasi kepada public bahwa PSSI
tidak dikirim karena prestasinya selama ini buruk.
h) Koherensi Pembeda
Koherensi
pembeda berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau
fakta itu hendak dibedakan. Seperti mengenai kebebasan pers di era Gus
Dur. Pada era Gus Dur kebebasa pers dijamin, namun terjadi peristiwa
pendudukan Banser terhadap harian Jawa Post hingga
menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit. Ini satu peristiwa atau
fakta. Ada fakta lain, pada era Hambibie, kebebasan pers juga dijamin,
dan pada masa ini tidak ada pendudukan sekelompokorang terhadap media
massa tertentu. Dua buah peristiwa itu terpisah, tidak berhubungan juga
tidak menyulut peristiwa lain. Akan tetapi kedua masalah tersebut bisa
dibuat berhubungan dengan cara membuat satu pristiwa sebagai
kebalikan/kontras dari pristiwa lain. Dalam contoh kasus tersebut, bisa
saja dikatakan alangkah berbedanya masa pemerintahan Hambibie dan Gus
Dur, atau pemerintahan Hambibie lebih baik daripada pemerintahan Gus
Dur. Kata sambung yang sering dipakai untuk membedakan dua kalimat ini
adalah “dibandingkan”, sehingga kalimatnya bisa saja menjadi “
Dibandingkan pemerintahan hambibie, kebebasan pers pada era Gus Dur
mengalami kemundurun. Pada masa Gus Dur terjadi peristiwa pendudukan
Baser atas Jawa Post yang menyebabkan Koran tersebut tidak bisaterbit”.
i). Pengingkaran
Elemen
wacana pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan
bagaimana wartawan menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara
implisit. Pengingkaran menunjukkan seolah wartawan menyetujui sesuatu,
padahal ia tidak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang
menyangkal persetujuannya tersebut. Misalnya pernyataan (saya memang
orang Jogja tulen, tetapi uang Sultan dari perkawinan Putrinya itu
memang perlu diselidiki KPK….)
j). Bentuk Kalimat
Bentuk
kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir
yang logis, yaitu prinsip kausalitas. Di mana ia menanyakan apakah A
yang menjekaskan B, atau B yang menjelaskan A. logika kausalitas ini
jika diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan objek (diterangkan)
dan predikat (menerangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan
teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh
susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang
menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif
seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Kasus pemukulan mahasiswa
oleh polisi dapat disusun ke dalam bentuk kalimat aktif, dapat juga
pasif. Kalimat “Polisi memukul Mahasiswa” menempatkan polisi sebagai
subjek dan memberi glorifikasi kepada kesalahan polisi. Sebaliknya,
“kalimat“Mahasiswa dipukul Polisi”, polisi ditempatkan secara
tersembunyi. Pada umumnya, pokok yang dipandang penting selalu
ditempatkan di awal kalimat. Bentuk lain adalah dengan pemakaian urutan
kata-kata yang mempunyai dua fungsi skaligus. Pertama, menekankan atau
menghilangkan dengan penempatan dan pemakaian kata atau frase yang
mencolok dengan menggunakan permainan semantik. Yang juga penting dalam
sintaksis selain bentuk kalimat adalah posisi proposisi dalam kalimat.
Bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat.
Proposisi mana yang ditempatkan di awal kalimat dan mana yang di tempat
diakhir kalimat. Penempatan ini memengaruhi makna yang timbul karena
menunjukkan bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang
disembunyikan.
k). Kata Ganti
Elemen
kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa denga menciptakan
suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh
komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana.
Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti
“saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan
sikap resmi komunikator semata-mata. Akan tetapi, ketika memakai kata
ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap
bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan
khalayak sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap
komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan. Pemakaian
kata ganti yang jamak seperti “kita” atau “kami” mempunyai implikasi
menumbuhkan solidaritas, aliansi serta mengurangi kritik dan oposisi.
l). Leksikon
Elemen
ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata/ diksi atas
berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri
atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “ditangkap”, misalnya
mempunyai kata lain : diamankan, disekap, ditahan dan lain-lain. Di
antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih pilihan yang tersedia.
Secara ideologis, pilihan kata yang dipakai menunjukkan bagaimana
pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.
m). Praanggapan
Elemen
wacana praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung
makna suatu teks. Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan
memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan
pernyataan yang dipandang terpecaya sehingga tidak perlu dipertanyakan. Misalnya
dalam suatu aksi pengrusakan sebuah diskotik oleh FPI. Seseorang yang
setuju dengan hal itu akan memakai pranggapan berupa pernyataan
“Perjuangan FPI ini membela Islam”.
n) Metafora
Dalam
suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok
lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan
sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita . akan tetapi penggunaan
metafora tertentu bisa jadi dipakai oleh wartawan secara sterategi
sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat tertentu kepada
publik. Penggunaan ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, leluhur,
kata-kata kuno, bahkan ungkapan ayat suci dipakai untuk memperkuat pesan
utama.
o) Grafis
Elemen
ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau
ditonjolakan (yang berat dianggap penting) oleh seseorang yang dapat
diamati dari teks. Dalam berita elemen grafis ini biasanya muncul lewat
bagian tulisanyang dibuat berbeda dibandingkan dengan tulisan lain,
seperti pemakain huruf tebal, huruf miring, garis bawah, huruf dengan
ukurun lebih besar, termasuk pemakaian caption, raster,grafik,
gambar, foto dan atau table untuk mendukung pesan. Elemen grafis member
efek kognitif, dalam arti, ia mengontrol perhatian dan ketertarikan
secara intensif dan menunjukka apakah suatu informasi itu dianggap
penting sehingga harus difokuskan. Pemakaian jumlah, ukuran statistik
menurut van Dijk bukan semata bagian dari standar jurnalistik, melainkan
juga menyugestikan presisi dari apa yang hendak dikatakan dalam teks.
Pencantuman jumlah mahasiswa dalam bentrokan misalnya, selain sebagai
standar jurnalistik, juga upaya dan strategi wartawan untuk meyakinkan
publik, hal itu dikarenakan angka masih dianggap paling benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar