Sabtu, 13 Juni 2015

Pengertian Wacana , Jenis-Jenis Wacana Dan Syarat Terbentuknya Wacana




Pengertian Wacana , Jenis-Jenis Wacana Dan Syarat Terbentuknya Wacana

A.    Pengertian wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
Istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar bacaan. Wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar di gunakan dalam komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya secara berturut-turut adalah kalimat, frase, kata dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi merupakan bentuk kata. Rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya, rangkaian kalimat membentuk wacana.

B.     Jenis Wacana
Dalam perbagai kepustakaan ada di sebut berbagai jenis wacana sesuai sdengan sudut pandang dari mana wacana itu di lihat. Begitulah, pertama-tama di lihat adanya wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan sarananya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis. Kemudian ada pembagian wacana prosa dan wacana puisi di lihat dari kegunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian ataukah bentuk puistik.

Selanjutnya, wacana prosa ini di lihat dari penyampaian isinya di bedakan lagi menjadi wacana narasi, narasi eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi. Wacana narasi bersifat menceritakan suatu topic atau hal ; wacana eksposisi bersifat memaparkan topic atau watak; wacana persuasi bersifat mengajak, menganjurkan atau melarang; dan wacana argumentasi bersifat member argument atau alasan terhadap suatu hal. Masih terbuka adanya jenis wacana lain mengingat penggunakan bahasa sangat luas, yang mencakup berbagai segi kehidupan manusia.
C.    Syarat Terbentuknya Wacana
Adapun persyaratan gramatikal dalam wacana dapat di penuhi atau dalam wacana itu sudah terbina yang di sebut  adanya keserasian hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut. Bila wacana itu kohesif , akan terciptalah kekoherensian yaitu isi wacana yang apik dan benar.
Kekohesifan itu dicapai dengan cara pengacuan dengan menggunakan kata ganti –nya mari kita lihat! Kalimat (1) adalah kalimat bebas, kalimat utama yang berisi pernyataan, bahwa sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk. Kalimat (2) adalah kalimat 3terikat, yang di kaitkan dengan kalimat (1) dengan menggunakan kata gantinya-nya pada kata ikannya dan telurnya yang jelas mencakup pada terubuk pada kalimat (1). Kalimat (3) juga di kaitkan dengan kalimat (1) dan kalimat (2) dengan menggunakan kata ganti -nya pada kata harga-nya yang juga jelas mencakup pada kata terbuk pada kalimat (1). Lalu, kalimat (4) merupakan kesimpulan terhadap pernyataan pada kalimat (1), (2) dan (3), yang di kaitkan dengan bantuan konjungsi antar kalimat makanya.
Kekohesifan wacana itu di lakukan dengan mengulang kata pembaharu pada kalimat (1) dengan kata pembaharuan pada kalimat (2); serta mengulang frase perubahan jiwa pada kalimat (2) perubahan pada kalimat (3). Adanya pengulangan unsure yang sama itu menyebabkan wacana itu menjadi kekoherens dan apik. Namun, pengulangan-pengulangan seperti di atas yang tampak kohesif, belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian.  Jadi syarat terbentuknya wacana apabila adanya kohesif dan koherensi.
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif, antara lain adalah
1.      Konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian  kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraph. Dengan penggunaan konjungsi ini, hubungan itu menjadi lebih eksplisit, dan akan menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan hubungan yang tanpa konjungsi. Contohnya: Raja sakit. Permaisuri meninggal.
Pada contoh diatas, hubunngan antara kalimat pertama dengan kalimat kedua itu tidak jelas: apakah hubungan penambahan, apakah hubungan sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan. Hubungan menjadi jelas, misalnya diberi konjungsi, dan menjadi kalimat sebagai berikut:
1.    Raja sakit dan pernaisuri meninggal.
2.    Raja sakit karena permaisuri meninggal.
3.    Raja sakit ketika permaisuri meninggal.
4.    Raja sakit sebelum permaisuri meninggal
5.    Raja sakit. Oleh karena itu, permaisuri meninggal.
6.    Raja sakit, sedangkan permaisuri meninggal.
2.      Menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis. Dengan menggunakan kata ganti sebagai rujukan anaforis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu di ulang, melainkan dig anti dengan kata ganti itu. Maka oleh karena itu juga, kalimat-kalimat tersebut saling berhubungan.
3.      Menggunakan ellipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain. Dengan ellipsis, karena tidak di ulangnya bagian yang sama, maka wacana itu tampak menjadi lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung kalimat di dalam wacana itu.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koherens dapat juga di buat dengan bantuan berbagai aspek semantik. Caranya, antara lain:
1.    Menggunakan hubungan pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana. Misalnya:
a.       Kemarin hujan turun lebat sekali. Hari ini cerahnya bukan main.
b.      Saya datang anda pergi. Saya hadir, anda absen. Maka, mana mungkin kita bisa bicara.
2.    Menggunakan hubungan generik-spesifik; atau sebaliknya spesifik-generik. Misalnya:
a.       Pemerintah berusaha menyediakan kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan akan berupaya mengurangi mobil-mobil pribadi.
b.      Kuda itu jangan kau pacu terus. Binatang juga perlu beristirahat.
3.    Menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
a.       Dengan cepat di sambarnya tas wanita pejalan kaki itu. Bagai elang menyambar anak ayam.
b.      Lahap benar makanannya. Seperti orang yang sudah satu minggu tidak ketemu nasi.
4.    Menggunakan hubungan sebab-akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atai isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
a.       Dia malas, dan sering kali bolos sekolah. Wajarlah kalau tidak naik kelas.
b.      Pada pagi hari bus selalu penuh sesak. Bernafas pun susah di dalam bus itu.
5.    Menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana. Misalnya:
a.       Semua anaknya di sekolahkan. Agar kelak tidak seperti dirinya.
b.      Banyak jembatan layang di bangun di Jakarta. Supaya kemacetan lalu lintas teratasi.


6.    Menggunakan hubungan rujukan yang sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
a.       Becak sudah tidak ada lagi di Jakarta. Kendaraan roda tiga itu sering di tuduh memacetkan lalu lintas.
b.      Kebakaran sering melanda Jakarta. Kalau dia datang si jago merah itu tidak kenal waktu, siang ataupun malam.
D.    Ciri-ciri wacana
1.      Dalam wacana perlu ada unsur-unsur susun atur menurut sabab, akibat, tempat, waktu, keutaamaan dan sebagainya.
2.      Wacana harus mempunyai andaian dan inferensi. Maklumat pertama dalam wacana di gelar andaian manakala maklumat berikutnya disebut inferensi.
3.      Setiap kata dalam wacana harus ada maklumat baru yang ada dalam kata sebelumnya.

Simpulan  
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Untuk membuat sebuah wacana yang baik itu, harus memenuhi persyaratan terbentuknya wacana. Terbentuknya wacana dibutuhkan adanya kohesif dan koherens di dalam hubungan antar kalimat di dalam wacana.
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta



Tidak ada komentar:

Posting Komentar