Pengertian Wacana , Jenis-Jenis
Wacana Dan Syarat Terbentuknya Wacana
A.
Pengertian wacana
Wacana adalah satuan bahasa
yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana
itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa
dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan)
tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar,
wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan
persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau
dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan
antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
Istilah wacana mempunyai acuan yang lebih luas dari sekedar
bacaan. Wacana merupakan satuan bahasa yang paling besar di gunakan dalam
komunikasi. Satuan bahasa di bawahnya secara berturut-turut adalah kalimat,
frase, kata dan bunyi. Secara berurutan, rangkaian bunyi merupakan bentuk kata.
Rangkaian kata membentuk frase dan rangkaian frase membentuk kalimat. Akhirnya,
rangkaian kalimat membentuk wacana.
B.
Jenis Wacana
Dalam perbagai kepustakaan ada di sebut berbagai jenis
wacana sesuai sdengan sudut pandang dari mana wacana itu di lihat. Begitulah,
pertama-tama di lihat adanya wacana lisan dan wacana tulis berkenaan dengan
sarananya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis. Kemudian ada pembagian wacana
prosa dan wacana puisi di lihat dari kegunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian
ataukah bentuk puistik.
Selanjutnya, wacana prosa ini di lihat dari penyampaian
isinya di bedakan lagi menjadi wacana narasi, narasi eksposisi, wacana persuasi
dan wacana argumentasi. Wacana narasi bersifat menceritakan suatu topic atau
hal ; wacana eksposisi bersifat memaparkan topic atau watak; wacana persuasi
bersifat mengajak, menganjurkan atau melarang; dan wacana argumentasi bersifat
member argument atau alasan terhadap suatu hal. Masih terbuka adanya jenis
wacana lain mengingat penggunakan bahasa sangat luas, yang mencakup berbagai
segi kehidupan manusia.
C.
Syarat Terbentuknya Wacana
Adapun persyaratan gramatikal dalam wacana dapat di penuhi
atau dalam wacana itu sudah terbina yang di sebut adanya keserasian
hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana tersebut. Bila wacana itu
kohesif , akan terciptalah kekoherensian yaitu isi wacana yang apik dan benar.
Kekohesifan itu dicapai dengan cara pengacuan dengan menggunakan
kata ganti –nya mari kita lihat! Kalimat (1) adalah kalimat bebas, kalimat
utama yang berisi pernyataan, bahwa sekarang di Riau amat sukar mencari
terubuk. Kalimat (2) adalah kalimat 3terikat, yang di kaitkan dengan kalimat
(1) dengan menggunakan kata gantinya-nya pada kata ikannya dan telurnya yang
jelas mencakup pada terubuk pada kalimat (1). Kalimat (3) juga di kaitkan
dengan kalimat (1) dan kalimat (2) dengan menggunakan kata ganti -nya pada kata
harga-nya yang juga jelas mencakup pada kata terbuk pada kalimat (1). Lalu,
kalimat (4) merupakan kesimpulan terhadap pernyataan pada kalimat (1), (2) dan
(3), yang di kaitkan dengan bantuan konjungsi antar kalimat makanya.
Kekohesifan wacana itu di lakukan dengan mengulang kata
pembaharu pada kalimat (1) dengan kata pembaharuan pada kalimat (2); serta
mengulang frase perubahan jiwa pada kalimat (2) perubahan pada kalimat (3).
Adanya pengulangan unsure yang sama itu menyebabkan wacana itu menjadi
kekoherens dan apik. Namun, pengulangan-pengulangan seperti di atas yang tampak
kohesif, belum tentu menjamin terciptanya kekoherensian. Jadi syarat
terbentuknya wacana apabila adanya kohesif dan koherensi.
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat
sebuah wacana menjadi kohesif, antara lain adalah
1.
Konjungsi, yakni alat untuk
menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat; atau menghubungkan paragraf
dengan paragraph. Dengan penggunaan konjungsi ini, hubungan itu menjadi lebih
eksplisit, dan akan menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan hubungan yang
tanpa konjungsi. Contohnya: Raja sakit. Permaisuri meninggal.
Pada contoh diatas, hubunngan antara kalimat pertama dengan
kalimat kedua itu tidak jelas: apakah hubungan penambahan, apakah hubungan
sebab dan akibat, atau hubungan kewaktuan. Hubungan menjadi jelas, misalnya
diberi konjungsi, dan menjadi kalimat sebagai berikut:
1.
Raja sakit dan pernaisuri meninggal.
2.
Raja sakit karena permaisuri
meninggal.
3.
Raja sakit ketika permaisuri
meninggal.
4.
Raja sakit sebelum permaisuri
meninggal
5.
Raja sakit. Oleh karena itu,
permaisuri meninggal.
6.
Raja sakit, sedangkan permaisuri
meninggal.
2.
Menggunakan kata ganti dia, nya,
mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis. Dengan menggunakan kata ganti
sebagai rujukan anaforis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu di ulang,
melainkan dig anti dengan kata ganti itu. Maka oleh karena itu juga,
kalimat-kalimat tersebut saling berhubungan.
3.
Menggunakan ellipsis, yaitu
penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain. Dengan
ellipsis, karena tidak di ulangnya bagian yang sama, maka wacana itu tampak
menjadi lebih efektif, dan penghilangan itu sendiri menjadi alat penghubung
kalimat di dalam wacana itu.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif
dan koherens dapat juga di buat dengan bantuan berbagai aspek semantik.
Caranya, antara lain:
1.
Menggunakan hubungan pertentangan
pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana. Misalnya:
a.
Kemarin hujan turun lebat sekali.
Hari ini cerahnya bukan main.
b.
Saya datang anda pergi. Saya hadir,
anda absen. Maka, mana mungkin kita bisa bicara.
2.
Menggunakan hubungan
generik-spesifik; atau sebaliknya spesifik-generik. Misalnya:
a.
Pemerintah berusaha menyediakan
kendaraan umum sebanyak-banyaknya dan akan berupaya mengurangi mobil-mobil
pribadi.
b.
Kuda itu jangan kau pacu terus.
Binatang juga perlu beristirahat.
3.
Menggunakan hubungan perbandingan
antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu
wacana. Misalnya:
a.
Dengan cepat di sambarnya tas wanita
pejalan kaki itu. Bagai elang menyambar anak ayam.
b.
Lahap benar makanannya. Seperti
orang yang sudah satu minggu tidak ketemu nasi.
4.
Menggunakan hubungan sebab-akibat di
antara isi kedua bagian kalimat; atai isi antara dua buah kalimat dalam satu
wacana. Misalnya:
a.
Dia malas, dan sering kali bolos
sekolah. Wajarlah kalau tidak naik kelas.
b.
Pada pagi hari bus selalu penuh
sesak. Bernafas pun susah di dalam bus itu.
5.
Menggunakan hubungan tujuan di dalam
isi sebuah wacana. Misalnya:
a.
Semua anaknya di sekolahkan. Agar
kelak tidak seperti dirinya.
b.
Banyak jembatan layang di bangun di
Jakarta. Supaya kemacetan lalu lintas teratasi.
6.
Menggunakan hubungan rujukan yang
sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana. Misalnya:
a.
Becak sudah tidak ada lagi di
Jakarta. Kendaraan roda tiga itu sering di tuduh memacetkan lalu lintas.
b.
Kebakaran sering melanda Jakarta.
Kalau dia datang si jago merah itu tidak kenal waktu, siang ataupun malam.
D.
Ciri-ciri wacana
1.
Dalam wacana perlu ada unsur-unsur
susun atur menurut sabab, akibat, tempat, waktu, keutaamaan dan sebagainya.
2.
Wacana harus mempunyai andaian dan
inferensi. Maklumat pertama dalam wacana di gelar andaian manakala maklumat
berikutnya disebut inferensi.
3.
Setiap kata dalam wacana harus ada
maklumat baru yang ada dalam kata sebelumnya.
Simpulan
Wacana adalah satuan bahasa
yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana
itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa
dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan)
tanpa keraguan apapun. Untuk membuat sebuah wacana yang baik itu, harus
memenuhi persyaratan terbentuknya wacana. Terbentuknya wacana dibutuhkan adanya
kohesif dan koherens di dalam hubungan antar kalimat di dalam wacana.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik
Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar